Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Makalah Qawa’id Fiqiyyah (Kaidah Fiqh)

Qawa’id Fiqiyyah (Kaidah Fiqh)
Qawa’id Fiqiyyah


BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Qawa’id Fiqiyyah (Kaidah Fiqh)
Al-qawa’id bentuk jamak dari kata qaidah (kaidah). Para ulama mengartikan qaidah secara etimologis dan terminologis, (luqhatan wa istilahan). Dalam arti bahasa, qaidah bermakna asas, dasar, atau pondasi, baik dalam arti yang konkrit maupun yang abstrak, dasar-dasar agama, qawa’id al-ilm, artinya kaidah-kaidah ilmu. Arti ini digunakan dalam Al-qur’an surat al-Baqarah ayat 127 :
وَإذَ يَرْفعُ إبراهيمُ الْقوَاعدَ منَ الْبيتِ وإسمعيل..........
 “Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar Baitullah bersama Ismail…” (QS. al-Baqarah: 127).
Dari ayat diatas bisa disimpulkan arti kaidah adalah dasar, asas, atau pondasi, tempat yang diatasnya berdiri bangunan. Pengertian kaidah semacam ini terdapat pula dalam ilmu-ilmu yang lain, misalnya dalam ilmu nahwu/grammer bahasa arab, seperti maf’ul itu manshub dan fa’il itu marfu’. Dari sini ada unsur penting dalam kaidah yaitu hal yang bersifat kulli (menyeluruh, general) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya. Dengan demikian, maka al-qawa’id fiqiyyah (kaidah-kaidah fiqih) secara etimologis adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fiqih.

B. Sejarah Kaidah Fiqih
Kaidah fiqih sering digunakan didalam tathbiq al-ahkam, yaitu penerapan hukum atas  kasus-kasus yang timbul didalam bidang kehidupan manusia. Dari sisi inilah tidak heran apabila kekhalifahan Turki Usmani antara tahun 1869-1878 mengeluarkan undang-undang disebut Majalah al-Ahkam al-Adliyah yang merupakan penerapan hukum Islam dengan menggunakan 99 kaidah fiqih.
Para pembangun kaidah fiqih adalah ulama-ulama yang sangat dalam ilmunya didalam ilmu fiqih sampai muncul Imam Abu Thahir al-Dibasi yang hidup pada akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 H, yang mengumpulkan 17 kaidah fiqih. Di kalangan tiap mazhab, ada ulama-ulama yang merupakan tokoh-tokoh di dalam hal kaidah fiqih, misalnya dalam mazhab Syafi’i, ulama besar Imam ‘Izzuddin bin Abd al-Salam (w. 660 H), telah menyusun kitab berjudul Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-An’am (kaidah-kaidah hukum untuk kemaslahatan manusia) yang menjelaskan tentang maksud Allah mensyariatkan hukum, dan semua kaidah dikembalikan kepada satu kaidah pokok.
جَلبُ المصَالِحِ ودفْعُ المفَا سِدِ
 “ Meraih yang maslahat dan menolak yang mafsadah”
Keseluruhan taklif yang tercermin di dalam konsep al-ahkam al-khamsah, (wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram) kembali untuk kemaslahatan hamba Allah di dunia dan akhirat. Ada dua nama yang digunakan oleh ulama untuk ilmu qawaid ini, yaitu ‘Ilmu al-Qawaid al-Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqih) dan al-Asybah wa al-Nazhair (hal-hal yang serupa dan sebanding). Seperti hukum dari ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat, mempelajari kaidah-kaidah fiqih adalah fardhu kifayah. Meskipun sebagian ulama mewajibkan mempelajari dan menguasai kaidah-kaidah fiqih bagi para pemegang keputusan dan terutama bagi para hakim di pengadilan.
Di dalam perkembangannya, kaidah-kaidah fiqih sekarang apabila diperinci dari kaidah pokok, kaidah di dalam setiap bab-bab fiqih atau sering disebut dhabith, sampai kaidah-kaidah yang paling kecil tidak kurang dari 500 kaidah fiqih, dari kaidah yang memiliki cakupan yang paling besar dan ruang lingkup yang paling luas seperti kaidah yang dikemukakan oleh Izzuddin Ibn Abd al-Salam:
عمدُ الصَّبي خطَاءٌ
“Kesengajaan anak kecil dianggap kesalahan”
Dhabith ini ruang lingkupnya hanya berlaku di bidang fiqih jinayah (hukum pidana Islam) dan hanya berlaku bagi anak yang belum dewasa. Konsekuensinya, apabila anak yang belum dewasa melakukan kejahatan dengan sengaja, maka hukumannya tidak sama dengan hukuman yang diancamkan kepada orang yang dewasa. Kalaupun diberi hukuman, maka hukumannya harus bersifat pendidikan, sebab kejahatan yang dia lakukan dengan sengaja, harus dianggap suatu kesalahan oleh hakim bukan suatu kesengajaan
Diantara ulama ada yang lebih merinci dan membedakan antara al-qawaid al-fiqhiyyah dan al-dhabith al-fiqh. Al-qawaid al-fiqhiyyah memiliki cakupan dan ruang lingkup yang lebih luas, sedangkan al-dhabith al-fiqh memiliki ruang lingkup dan cakupan yang lebih sempit. Konsekuensinya, kekecualian-kekecualian di dalam kaidah akan lebih banyak dan harus lebih hati-hati penerapannya, sedangkan kekecualian-kekecualian di dalam dhabith akan lebih sedikit.
Apabila kaidah-kaidah fiqih ini kita perinci berdasarkan ruang lingkup dan cakupannya, setidaknya ada 5 ruang lingkup, dan cakupan yang paling luas dan paling menyeluruh scope dan sequence nya berjenjang mulai dari:
1. جلبُ المصَالِحِ ودفْعُ المفَاسدِ
“Meraih kemaslahatan dan menolak kemudharatan”
2. Al-qawaid al-khamsah, kaidah –kaidah fiqih pokok yang 5 meliputi keseluruhan bidang fiqih yaitu:
الأمُورُ بمقا صِدِهَا
“Segala sesuatu sesuai dengan maksudnya”
الضَرَرُيزال
“Kemudharatan harus dihilangkan”
اليَقِينُ لا يزالُ بالشَّك
“Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”
ألمُشَقةُ تجلبُ التيسير
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”
العَادةُ محكّضمةٌ
“Adat dapat dijadikan hukum”
Di dalam mazhab Hanafi ditambahkan satu kaidah lagi,
لاَثَوابٌ إلأَّبالنِّيَةِ
“Tidak ada pahala kecuali dengan niat”

Sulit diketahui siapa pembentuk pertama kaidah fiqih, yang jelas dengan meneliti kitab-kitab kaidah fiqih dan masa hidup penyusunnya, ternyata kaidah fiqih tidak terbentuk sekaligus, tetapi terbentuk secara bertahap dalam proses sejarah hukum Islam. Walaupun demikian, di kalangan ulama di bidah kaidah fiqih, menyebutkan bahwa Abu Thahir al-Dibasi, ulama dari mazhab Hanafi yang hidup di akhir abad ke-3 dan awal abad ke-4 H, telah mengumpulkan kaidah fiqih mazhab Hanafi sebanyak 17 kadiah. Abu Thahir selalu mengulang-ulang kaidah tersebut di masjid, setelah para jamaah pulang ke rumahnya masing-masing.
Kemudian Abu Sa’id al-Harawi, seorang ulama mazhab Syafi’i mengunjungi Abu Thahir dan mencatat kaidah fiqih yang dihafalkan oleh Abu Thahir. Setelah kurang lebih 100 tahun kemudian, datang ulama besar Imam Abu Hasan al-Karkhi, yang kemudian menambah kaidah fiqih dari Abu Thahir menjadi 37 kaidah.
Jadi, dari penjelasan di atas jelaslah bahwa kaidah-kaidah fiqih muncul pada akhir abad ke-3 H. seperti kita ketahui dari perkembangan ilmu Islam, bahwa kitab-kitab tafsir, hadis, ushul fiqh, dan kitab-kitab fiqih pada masa itu telah dibukukan. Dengan demikian materi tentang tafsir, hadis, dan fiqih telah cukup banyak. Tantangan dan masalah-masalah yang harus dicarikan solusinya juga bertambah terutama karena meluasnya wilayah kekuasaan kaum muslimin masa itu, maka ulama membutuhkan metode yang mudah untuk menyelesaikan masalah, baru kemudian muncul kaidah-kaidah fiqih.

Dengan menggunakan proses seperti digambarkan di atas, kemudian muncul kitab-kitab kaidah-kaidah fiqih di berbagai mazhab di dalam Islam. Oleh karena fiqih tumbuh lebih dahulu dari kaidah-kaidah fiqih, maka sering kita temukan kaidah-kaidah itu ada dalam kitab fiqih ulama tersebut.
2.3 Kaidah Asasi Pertama “Al-Umuuru Bi Maqaasidihaa”
الأُمُورُ بمَقَاصِدِهَا
 “Segala perkara tergantung kepada niatnya” 
Pengertian kaidah ini bahwa hukum yang berimplikasi terhadap suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum (mukallaf) tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara tersebut. Kaidah ini berkaitan dengan setiap perbuatan atau perkara-perkara hukum yang dilarang dalam syariat Islam. Apabila tindakan seseorang meninggalkan hal-hal yang terlarang dilakukannya dengan segala ketundukan karena ada larangan yang berlaku pada ketetapan syara’ maka tindakan tersebut memperoleh pahala. Namun, apabila tindakan tersebut berkaitan dengan tabiat atau perasaan jijik terhadap sesuatu yang ditinggalkannya tersebut tanpa memperhatikan status pelarangannya, maka ia dinilai sebagai perkara biasa dan tabiat manusiawi yang tidak beroleh pahala.
Sumber pengambilannya:
QS. ali-Imran ayat 145
QS. an-Nisa’ ayat 100
QS. az-Zumar ayat 2
QS. al-Bayyinah ayat 5
Sebagai contoh, memakan bangkai tanpa adanya rukhsah status hukumnya adalah haram. Dalam hal ini terdapat nash syara’ yang dengan tegas mengharamkan konsumsi bangkai dan melarang tindakan tersebut. Sehingga apabila melanggar akan memperoleh hukuman dunia dan akhirat. Nash tersebut adalah firman Allah : “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,…” dan seterusnya. Apabila seseorang mencegah diri untuk tidak melakukan tindakan tersebut (konsumsi bangkai) dengan harapan bahwa ia berpegang teguh pada nash dan menerapkan ketentuan yang berlaku di dalamnya maka tindakan ini memperoleh ganjaran dari Allah dan pelaku mendapatkan pahala kebaikan yang ditambahkan pada daftar pahala-pahala kebaikannya di sisi-Nya. Berbeda halnya apabila seseorang tidak memakan bangkai karena faktor psikologis di dalam dirinya yang merasa jijik atau tidak suka terhadap bangkai, tanpa memandang nash yang mengharamkannya –atau dengan bahasa lain seseorang pasti akan memakannya seandainya tidak merasa jijik- maka tindakan tersebut tidak berpahala sama sekali.
Makna yang tersirat (mafhum) dari kaidah ini bahwa niat dalam hati yang bersifat abstrak yang tidak disertai dengan suatu tindakan lahiriah yang menjelaskannya, baik berupa perkataan atau perbuatan tidak berimplikasi pada suatu hukum syar’i duniawi. Sebab menurut makna yang tersurat (manthuq) kaidah tersebut mengikat hukum hanya dengan perkara-perkara lahiriah, baik perkataan maupun perbuatan, meskipun ia membatasinya berdasarkan niat dan tujuan di balik perkara-perkara tersebut.
Kaidah ini lebih lanjut menurunkan beberapa kaidah partikular sebagai berikut:
Barangsiapa menjual sesuatu atau menceraikan istrinya di dalam hati tanpa mengucapkannya, maka ia tidak dihukumi transaksi jual beli atau perceraian, meskipun ia secara lugas menyatakan telah meniatkan demikian.
Barangsiapa membeli lahan kosong dengan niat untuk mewakafkannya, maka ia tidak serta-merta menjadi pewakaf kecuali setelah ia mengucapkan ikrar wakaf, misalnya: “aku wakafkan harta ini untuk orang-orang fakir miskin atau lembaga-lembaga sosial,” dan sebagainya.
Jika orang yang dititipi barang (al-wadi’) mengambil barang titipan dengan niatan mengonsumsinya (memakainya), lalu ia mengembalikan lagi barang tersebut ke tempat sebelum sempat melakukan tindakan yang diniatkannya, namun ternyata barang tersebut rusak setelah ia kembalikan ketempatnya dan setelah ia antarkan, sementara ia tidak melakukan tindak pelanggaran maupun kelalaian terhadap barang tersebut maka ia dikenai kewajiban membayar jaminan pengganti.
Barangsiapa berniat meng-ghasab (merampas) harta milik orang lain, lalu ia urung melakukannya, namun harta tersebut kemudian rusak di tangan pemiliknya, maka ia dianggap sebagai peng-ghashab (perampas) dan tidak dikenai kewajiban mengganti, meskipun ia secara lugas menyatakan diri berniat melakukan hal tersebut.
Harus diperhatikan dalam konteks ini, bahwa jika seseorang melakukan suatu tindakan, maka disini tidak perlu dipersoalkan niat orang tersebut saat melakukannya atau maksud yang ingin dicapainya dengan tindakan tersebut, serta implikasi hukum  yang diniatkannya berdasarkan niat atau maksud tersebut termasuk hal-hal yang memiliki ragam niat dan maksud di dalamnya yang berbeda-beda.
Adapun jika tindakan tersebut hanya mengandung kemungkinan satu maksud tertentu, maka tidak ada alasan di sini untuk membahas dan mempersoalkan niat atau maksud, bahkan tidak dapat diterima jika pelaku mengaku niat yang berbeda (dengan niat tunggal yang disepakati). Sebab pengakuan seperti ini dapat disimpulkan sebagai keinginan untuk melepaskan diri dari konsekuensi-konsekuensi hukum yang mengiringi perkataan atau perbuatannya. Dan jalan (peluang) ini harus ditutup bagi orang yang hendak menempuhnya.
Dari sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa lafal-lafal yang jelas (lugas) tidak membutuhkan niat untuk,membangun konsekuensi hukum duniawi yang mengikutinya. Dengan bahasa lain, pernyataan yang lugas (al-lafzh ash-sharih) tetap membawa konsekuensi –konsekuesi hukum, meskipun orang yang menyatakannya mengaku bahwa ia tidak bermaksud menyatakannya (melafalkannya) atau tidak menginginkan konsekuensi yang diakibatkan oleh ucapannya.
Contohnya penggunaan kata-kata kiasan atau sindiran dalam talak. Seandainya seorang suami berkata pada istrinya: “Kamu terlepas  (mahlulah) dari segala ikatan yang mengikatmu,” maka pernyataan tersebut mengandung kemungkinan bahwa si istri terlepas dari ikatan perkawinan atau dengan kata lain ia tertalak. Manun, dapat juga mengandung kemungkinan bahwa ia bebas bertindak dalam segala tindakan dan urusan, baik yang bersifat pribadi rumah tangga, hubungan suami-istri, ataupun yang lainnya. Dalam kondisi ini, penjelasan niat suami yang sebenarnya mesti diketahui dan keputusan hukum pengadilan didasarkan pada niat yang sesungguhnya.
Andaikata seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada orang lain, lalu di kemudian hari ia mengaku bahwa ia mengutangkannya (dengan sistem qardh), sementara si penerima mengklaimnya sebagai akad mudharabah, maka pendapat yang diambil adalah pendapat pihak kedua (yang menerima) disertai sumpah. Sebab prinsip dasar dalam transaksi adalah ketiadaan tanggungan, dan qardh (akad utang-piutang) meniscayakan tanggungan (dhaman).
Apabila seorang istri menuntut pemberian nafkah atas dirinya yang telah diputus oleh pengadilan sebagai kewajiban suami dengan ketetapan hukum yang mengikat, sementara si suami mengaku telah mengirimkan nafkah kepadanya dan istrinya telah mengambil, namun keduanya sama-sama tidak memiliki bukti, maka pendapat yang diambil adalah pendapat si istri disertai sumpah, sebab status asalnya adalah tidak adanya pengiriman nafkah.
Apabila seorang suami menceraikan istrinya dengan talak ba’in beberapa saat sebelum ia meninggal dunia, lalu si istri mengklaim bahwa proses perceraian tersebut terjadi pada saat si suami sakit keras menjelang ajal, sehingga ia pun tetap berhak mendapatkan harta warisan peninggalannya, sementara ahli waris mengklaim bahwa proses perceraian terjadi pada saat si suami dalam keadaan sehat dan sebelum sakit yang menyebabkan kematiannya (sehingga ia tidak dapat dituding ingin berkelit dan lari dari tanggung jawab), dan oleh karenanya si istri tidak berhak mendapatkan warisan, namun kedua belah pihak tidak ada bukti apa pun, maka yang menjadi pertimbangan disini adalah pengakuan si istri disertai sumpahnya. Sebab perkara baru yang diperselisihkan waktu terjadinya disini adalah talak, maka ia wajid disandarkan pada waktu yang terdekat, yaitu sakit keras yang mendatangkan kematian yang diklaim si istri selama pihak ahli waris tidak dapat menghadirkan bukti sebaliknya.
Apabila seorang suami menjatuhkan talak raj’i pada istrinya, lalu ia mengaku telah merujuk istrinya selama masa ‘iddah (masa tunggu), namun si istri mengaku bahwa proses rujuk terjadi setelah habis masa ‘iddah maka pengakuan istri yang dikabulkan disertai sumpahnya. 
Niat dikalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan : bermaksud melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya. Dikalangan mazhab Hanbali juga menyatakan bahwa tempat niat ada di dalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini/beriktikad di dalam hatinya, itupun sudah cukup, dan wajib niat didahulukan dari perbuatan.
Niat sangat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat kepada Allah dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang disunahkan atau yang dibolehkan agama ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat kepada Allah, tetapi semata-mata karena kebiasaan saja.
Jadi, dari kaidah asasi pertama “al-umuuru bimaqaasidihaa” dapat ditarik lagi beberapa kaidah:
ماَيُشْترطُ فيهِ اْلتعْيِيْنُ فالْخَطأُ فيهِ مُبْطِلٌ
“Dalam amal yang disyaratkan menyatakan niat, maka kekeliruan pernyataannya membatalkan amalnya”
مَايُشْترطُالتَّعَرُّضُ لهُ جُمْلةً ولَايُشْترطُ تَعْنِيتُهُ تَفْصِلًا إذَا عَيَّنهُ وأخْطَأَ ضَرَّ
“Perbuatan yang secara keseluruhan diharuskan niat tetapi secara terperinci tidak diharuskan menyatakan niatnya, maka bila dinyatakan niatnya dan ternyata keliru, berbahaya.”
مَالَايُشْتَرَطُ التَّعَرُّضُ لهُ جُمْلَةً وَلَاتَفْصِلًا إذَاعيَّنَهُ وَأَجْطَأَ لَمْ يَضُرَّ
“Perbuatan yang secara keseluruhan, maupun secara terperinci tidak disyaratkan mengemukakan niat, bila dinyatakannya dan ternyata keliru, tidak berbahaya.”
لَاثَوَابَ إلَّا بِالنِّيَةِ
“Tidak ada pahala selain dengan niat.”
مَقَا صِدُ اللَفْظِ علَى نِيَةِ اللاَفِظ
“Maksud lafazh itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya.”
لَا ثَوَابَ وَلَا عِقَابَ إلاّ بِالنِّيَةِ
“Tidak ada pahala dan tidak ada siksa kecuali karena niat.”
لَو اخْتَلَفَ اللِسَانُ وَالقَلْبُ فَالمُعْتَبَرَ مَا فِي القَلْبِ
“Apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada dalam hati (diniatkan), maka yang dianggap benar adalah apa yang ada di dalam hati.”

لَا يَلزَمُ نِيَةُ العِبدةِ فِي كُلَّ جُزْءٍ إنَّمَا تَلْزَمُ فِي جُمْلَةٍ مَا يَفْعَلُهُ
“Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tetapi niat wajib dalam keseluruhan yang dikerjakan.”
كُلُّ مَا كَانَ لَه أَصْلٌ فَلَا يَنْتَقِلُ عَنْ أَصْلِهِ بِمُجَرَّدِ النِّيَةِ
“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal karena semata-mata niat.”
كُلُّ مُفَرِضَيْنِ فَلَا تَجْزِيْهِمَا نِيَّةٌ وَاحِدٌ إلاَّ الحَجّ والعُمْرَةَ
“Setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan umrah.”

Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa fungsi niat adalah:
Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunah. 

DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, A, Prof. H., 2006. Kaidah-kaidah Fikih,: Jakarta. Kencana
Prof. Dr. Nashr Farid Muhammad Washil dan Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, 2009. Qawaid Fiqhiyyah : Jakarta. Amzah


Post a Comment for "Makalah Qawa’id Fiqiyyah (Kaidah Fiqh)"