Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Penjelasan Lengkap Hadhanah dan Kedudukan Hukum Hadhanah

Hukum Hadhanah
Hak Penjagaan Anak

A. PENGERTIAN DAN KEDUDUKAN HADHANAH

1.      Pengertian Hadanah

Para ulama fiqh mendefinisikan hadanah, yaitu melakukan pemeliharan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggungjawabnya.

Dengan demikian, mengasuh artinya memelihara dan mendidik. Maksudnya adalah mendidik dan mengasuh anak-anak yang belum mumayiz atau belum dapat membedakan antara yang baik dan yang buruuk, belum pandai menggunakan pakaian dan bersuci sendiri dan sebagainya.

2.      Kedudukan Hukum Hadhanah

Hadanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksaan urusannya dan orang yang mendidiknya, ibunyalah yang berkewajiban melakukan  hadanah. Rasulullah SAW, bersabda , “engkaulah (ibu) yang berhak terhadap anaknya.

Anak yang masih kecil memiliki hak hadanah. Karena itu, ibunya di haruskan melakukannya jika membutuhkannya dan tidak ada orang lain yang bisa melakukannya. Hal ini dimaksudkn agar hak anakatas pemiliharaan dan pendidikannya tersia-siakan. Jika hadanahnya dapat ditangani orang lain, misalnya bibi perempuan dan ia rela melakukannya, sedanngkan ibunya tidak mau, maka hak ibu untuk mengasuh menjadi gugur dengan sebab bibi perempuan yang mengasuhnya pun mempunyai hak hadanah (mengasuh).

Pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak dalam penngakuan ibu bapaknya, karena dengan pengawasan dan perlakuan keduanya secara baik dan dapat menumbuhkan jasmani dan akalnya, membersihkan jiwanya serta mempersiapkan diri anak dalam menghadapi kehidupannya dimasa datang.

Apabila terjadi penceraian, selama ibunya belum menikah lagi, maka ibu diutamakan untuk mengasuhnya, sebab dia lebih mengetahui dan lebih mampu mendidiknya. Jua karena ibu mempunyai rasa kesabaran untuk melalukan tugas ini yang tidak di miliki oleh bapaknya.

Ibu juga lebih mempunyai waktu untuk mengasuh anaknya daripada bapak. Karena itu peran ibu sangat penting dalam mengatur kemaslahatan anak.

Dalam sebuah hadis Nabi SAW, dijelaskan :

Dari abdullah bin umar r.a bahwa seorang perempuan bertanya, “ ya Rasulullah, sesungguhnya anakku ini adalah perutku yang mengandungnya, dan susuuku yang menjadi minumannya, dan pangkuanku nyang memeluknya, sedang bapaknya telah menceraikan aku dania mau mengambilnya dariku.” Lalu rasulullah SAW.  bersabd kepadanya, “engkau yang lebih banyak berhak dengan anak itu, selama engkau belum menikah.”

(Hadis ini dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud, Baihaiqi, Hakim dan dia mesahihkannya )

Kalau ibunya itu menikah dengan orang lain, sedangkan anak itu belum mumayyiz, maka bapaknya yang lebih berhak mendidik kalau ia meminta atau bersedia mendidiknya. Bila bapaknya tidak ada maka yang berhak mendidiknya adalah bibinya (saudara perempuan ibunya).

Rasulullah SAW bersabda yang artinya:

Dari abu Hurairah  r.a berkata, ‘ pernah aku bersama-sama Nabi SAW. Lalu datang seorang perempuan dan berkata, “ya Rasulullah sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku, dan sesungguhnya ia telah memberi minum dari sumur abu inabah. Dan sungguh ia telah berjasa kepadaku.” Maka Rasulullah SAW bersabda, “ Berundinglah kamu atasperkara anak itu.” Maka suaminya berkata, “Siapakah yang berani menghalangi aku dengan anakku ini ?.”Nabi SAW bersabda (kepada anak itu) : “ini Bapakmu dan ini Ibumu. Maka ambilah tangan di antara kedunya yang engkau kehemdak.” Lalu diambilnya tangan ibunya, maka berjalanlah perempuan itu dengan anaknya.”(H.R.Ashabus Sunan)

Hadis ini menunjukkan bahwa anak kecil yang sudah mumayyiz dan mengerti dengan diri sendiri, ia boleh melilih siapakah yang akan mengasuhnya. Apakah ibunya, atau bapaknya.

Keterangan yang lain menyatakan pula yang artinya  :

“dari Al-Barra’ bin Azib r.a bahwasanya Nabi SAW telah memutuskan dalam perkara anak perempuan oleh hamzah (dalam perkara mengasuh) untuk bibinya (adik perempuan ibunya), dan beliau bersabda . “Bibi itu yang mengambil ttempat ibunya.”( H.R.Bukhari)

Hadis menujukkan bahwa bibi itu lebih utama dari pada bapak, dan ibu, dalam perkara mengasuh serta mendidik anak yang masih kecil apabila keduanya tidak mampu.

B.     Rukun dan Syarat Hadhanah

1.      Rukun Hadhanah

Rukun hadhanah, yaitu:

a.       Hadnin (orang tua yang mengasuh)

b.      Mahdhun (anak yang diasuh)

2.      Syarat Hadhanah

a.    Syarat hadnin, yaitu:

  • Sudah dewasa. Orang yang tidak dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang yang dilakukan itu belum dinyatakan memenuhi syarat.
  • Berpikir sehat. Orang yang kurang akalnya seperti ideot tidak mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain.
  • Beragama Islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas pengasuh itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh.
  • Adil dalam menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fisik yaitu yang konsisten dalam beragama.

b.     Syarat mahdhun

  • Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.
  • Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun tidak dewasa, seperti orang idiot.

Baca juga: Hadhanah dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang

C.     Daftar Isi Pengasuh dan Hal yang Membatalkannya

1.    Daftar Isi Pengasuh

Jika para wanita dari kaum kerabatnya berkumpul,maka yang lebih berhak mengasuh anak itu adalah ibu lalu ibunya ibu (nenek dari pihak ibu), kemudian ibunya bapak (nenek dari pihak bapak) dan terus keatas kemudian ibunya nenek, lalu saudara perempuan sekandung, lalu perempuan saudara sebapak kemudian saudara perempuan seibu, setelah itu bibi dari pihak ibu, selanjutnya bibi dari pihak bapak. Demikian lah urutan yang seharuusnya. Demikian itu jika anak tersebut dibawah umur 7  tahun . jika ia sudah berumur 7 tahun dan sudah mengerti serta dapat berpikir, maka ia diberikan pilihan untuk menentukan apakah ikut bapak atau ibunya, baik anak itu laki-laki atau perempuan.siapa dari keduanya yang dipilihnya maka dialah yang berhak mengasuhnya. Demikian lah yang menjadi pendapat mayoritas sahabat nabi. Hal itu pula yang menjadi pendapat syafii, ahmad, dan ishaq.

Tsauri dan para penganut mazhab hanafi berpendapat bahwa ibu lebih berhak mengasuh anaknya sehingga ia dapat makan dan memakai baju sendiri, sedangkan bila anaknya perempuan adalah sehinggga ia menjalani haid pertama kali dan setelah itu, baru bapak yang lebih berhak

Sebagaimana hak mengasuh pertama diberikan kepada ibu, maka para ahli fiqih menyimpulkan bahwa keluarga ibu dari seorang anak lebih berhak daripada keluargga bapaknya, urutan mereka yang berhak mengasuh anak adalah sebagai berikut :

  1. Ibu anak tersebut
  2. Nenek dari pihak ibu dan terus ke atas
  3. Nenek dari pihak ayah
  4. Saudara kandung dari anak tersebut
  5. Saudara perempuan seibu
  6. Saudar aperempuan seayah
  7. Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung
  8. Anak perempuan daridari saudara perempuan seayah
  9. Saudara perempuan ibu yang sekandung dengannya
  10. Saudara perempuan ibu yang seayah dengannya (bibi)
  11. Saudara perampuan ibu yang seibu dengannya
  12. Anak perempuan dari saudara perempuan ayah
  13. Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung
  14. Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu
  15. Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah
  16. Bibi yang sekandung dengan ayah
  17. Bibi yang seibu dengan ayah
  18. Bibi yang seayah dengan ayah
  19. Bibinya ibu dari pihak ibunya
  20. Bibinya ayah dari pihak ibunya
  21. Bibinya ibu dari pihak ibunya
  22. Bibinya ayah dari pihak ayah

No.19 s/d 22 dengan mengutamakan yang sekandung pada masing-masingnya

Jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat perempuan dari kalangan mahram diatas atau ada tetapi tidak dapat mengasuhnya, maka pengasuhan anak itu beralih kepada kerabat laki-laki yang masih mahramnya atau memilih hubungan darah (nasab) dengannya sesuai dengan urutan masing-masing dalam persoalan waris. Dan pngasuh anak itu beralih kepada.

       23.    Ayah kandung anak itu
24.    Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas.
25.    Saudara laki-laki sekandung.
26.    Saudara laki- laki seayah
27.    Anak lak-laki dari saudara laki-laki sekandung
28.    Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
29.    Paman yang sekandung dengan ayah.
30.    Paman yang seayah dengan ayah
31.    Pamannya ayah yang sekandung
32.    Pamannya ayah yang seayah dengan ayah

Jika tidak ada seorang pun kerabat dari mahram laki-laki tersebut atau ada tetapi tidak bisa mengasuh anak, maka hak pengasuhan anak itu beralih kepada mahram-mahramnya yang laki-laki selain kerabat dekat yaitu :
       33.    Ayah ibu (kakek)
       34.    Saudara laki-laki seibu
       35.    Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu
       36.    Paman yang seibu dengan ayah
       37.    Paman yang sekandung dengan ibu
       38.    Paman yang seayah dengan ibu

        Selanjutnya jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat sama sekali, maka hakim yang akan menunjuk seorang wanita yang sanggup dan patut mengasuh serta mendidiknya

        Malik berkata “seorang ibu lebih berhak memelihara anak perempuan meskipun sudah haid selam aia belum menikah. Dan dia (ibu)juga lebih berhak mengasuh anak laki-laki selama ia belum pernah akil ballig, jika anak itu sudah mencapai umur tujuh tahun atau lebih,tetapi belum berakal atau tidak waras, maka ibu lebih berhak dari pada bapaknya. Jika anak yang sudah berakal dan memilih salah satu dari kedua orang tuanya, tetapi suatu ketika ia ingin kembli kepada yang lainnya, maka ia harus dikembalikan kepada yang lainnya tersebut. Diberikannya pilihan kepada anak untuk menentukan hak pengasuhannya, kepada bapak atau ibunya, jika kedua-duannya merdeka dan muslim serta dapat di percaya. Dan jika salah seoarng dari keduanya kafir, atau budak, atau fasik, maka pihak yang muslim dan merdka adalah yang lebih berhak mengasuhnya tetapi jika ibunya telah menikah, maka tidak perlu lgi diberikan pilihan dan anak diserahkan kepada bapaknya. Sebagaimana si anak diberikkan pilihan untuk memilih ibu dan bapaknya, maka ia diberi kebebasan juga untuk memilih antara ibu dan kakeknya atau ibu dan pamannya jika hak pengasuhan itu telah ditetapkan pada ibunya atau telah diberikan kepada anak itu hak memilih, lalu bapak anak itu bermaksud melakukan perjalanan, maka ia tidak bisa mengambil anak itu dari ibunya.

2.    Hal yang Membatalkan Hadhanah

Pengasuhan dilarang bagi ibu yang tak memenuhi syarat seperti yang telah dijelaskan seperti gila, budak, kafir, fasik, tak dipercayai, dan menikah lagi dengan pria lain, kecuali menikah dengan pria yang berhak mengasuh anak tersebut, seperti paman anak itu atau seperti ayah menikahkan anaknya dengan istri yang dihasilkan dari suami lain, dan kemudian melahirkan anak, hasil dari pernikahan itu. Lalu ayah dan ibu si anak meninggal maka istri dari bapaknya itu berhak untuk mengasuh anak tersebut.

        Orang yang tidak mempunyai hak waris (dzawil arham) tidak berhak untuk mengasuh anak, seperti cucu laki-laki dari anak perempuan, anak laki-laki dari saudari,anak laki-laki dari saudara seibu,bapaknya ibu,paman dari ibu,dan pama dari ayah, karena pengasuhan itu merupakan hak perempuan yang memahami cara mengasuh dengan baik atau merupakan kewajiban orang yang mempunyai ikatan kekerabatan yang bisa dibuktikan dengan berhak menerima waris dari kalangan laki-laki dan ini tidak terdapat dalam kalangan sanak family (dzawil arham)  orang yang garis keturunanya melalui dzawil arham tersebut,baik laki-laki maupun perempuan tidak mempunyai hak asuh karenaorang yang bergaris keturunan di atasnya saja tidak mempunyai hak waris apa lagi yang bergaris keurunan kebawahnya



Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia,(Prenadamedia: Jakarta, 2016), hlm.128-129

Syaikh hasan ayyub,FIKIH KELUARGA,pustaka al-kautsar...454-455 

Pfof, d,wahbah zuhaili,AL-FIQHU ASY-SYAFI’I AL-MUYASSAR,(darul fikr,damaskus) hal.69-70

 

Post a Comment for "Penjelasan Lengkap Hadhanah dan Kedudukan Hukum Hadhanah"