Tinjauan Maqashid Al-Syari'ah Terhadap Peraturan Gubernur No.5 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan ‘Uqubah Cambuk di Lembaga Permasyarakatan Provinsi Aceh
Maqasid Syar'iah Hukuman Cambuk |
BAB SATU
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah
Provinsi Aceh merupakan satu-satunya provinsi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan undang-undang otonomi khusus memperoleh kewenangan penuh untuk menjalankan syraiat Islam.[1] Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh, selain memberikan kewenangan menjalankan syariat Islam juga memberikan landasan hukum bagi peradilan syariah di Provinsi Aceh. Undang undang ini juga memuat penegasan bahwa kewenangan menjalankan syariat Islam ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari otonomi khusus yang diberikan oleh pemerintah pusat sesuai dengan kebutuhan khusus daerah dan masyarakat di wilayah provinsi ini.
Pemberian otonomi khusus kepada Provinsi Aceh, yang di dalamnya
termasuk kewenangan penuh menegakkan syariat Islam, merupakan harapan
masyarakat Aceh sejak lama. Masyarakat Aceh telah sejak lama dikenal sebagai bumi
“Serambi Mekah”,[2]
sebuah penyebutan yang merefleksikan penghayatan dan pengamalan syariat Islam
mewarnai setiap sendi kehidupan masyarakat.[3] Kewenangan penegakan syariat Islam
yang berpayung hukum pada peraturan perundang-undangan pemerintah pusat ini,
kemudian ditindaklanjuti dengan dibentuknya sejumlah peraturan daerah untuk
wilayah provinsi yang dikenal dengan qanun.
Lahirnya Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat serta
Qanun Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat. Kedua Qanun ini menjadi sumber hukum materil dan formil dalam
pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Dalam menjalankan atau penerapannya maka salah
satu pengaturannya mengenalkan hukuman cambuk sebagai sanksi terhadap para pelaku
pelanggaran Syariat Islam. Pelaksanaan hukuman cambuk pertama kali di lakukan
di Indonesia, pada tanggal 24 Juni 2005 di halaman mesjid Agung Bireun Provinsi
Aceh. Sejak tahun 2005 sampai dengan
2008, jumlah pelaku yang melanggar Qanun dan dijatuhkan sanksi hukuman
cambuk sebanyak 275 orang. Pada tahun 2005 sebanyak 101 orang, tahun 2006 61
orang, tahun 2007 sebanyak 58 orang dan tahun 2008 sebanyak 55 orang.[4]
Hukuman cambuk merupakan salah satu jenis hukuman yang telah ditentukan di dalam Al-Quran Surat An-Nur Ayat 2 untuk tindak pidana zina dan Surat An-Nur Ayat 4 untuk jarimah Qadzaf.
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”.
Pada Ayat kedua di atas menjelaskan jumlah cambukan untuk pezina
100 kali. Mengenai pelaksanaan ‘uqubah cambuk di akhir ayat kedua
diterangkan bahwa hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman. Hal ini dimaksudkan agar orang-orang yang
melakukan yang melakukan perbuatan zina benar-benar merasa malu dan tercela,
sehingga selanjutnya mereka benar-benar menjaga diri dan menjauh dari perbuatan
dosa tersebut.
Adapun yang diperintahkan untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman
itu, bukanlah kaum Mukminin seluruhnya, melainkan hanya sebagian saja
sebagaimana yang Difirmankan Allah dalam ayat di atas (Q.S. 24 an-Nur: 2) ... walyasyhad
‘adzabahuma tha-ifatum minal mu’minin (... dan hendaklah pelaksanaan
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman). Dalam
penggalan firman Allah SWT ini terdapat kalimat tha-ifatun, yang artinya
segolongan atau sekelompok, maksudnya ialah bukan seluruh kaum Mukminin,
melainkan hanya beberapa orang saja dari kaum Mukminin.[5]
Sedikitnya tiga atau empat dari orang-orang mukmin agar hukuman itu mrnjadi
pelajaran bagi semua pihak yang melihat dan mendengarnya.[6]
Sedangkan ayat ketiga menerangkan mengenai hukuman untuk perbuatan Qadzaf sebanyak 80 kali. Selain menguatkan ketentuan sanksi untuk dua delik tersebut, hadis menambahkan satu jenis jarimah lain yang dihukum cambuk yaitu minum khamar yang diancam 40 kali cambuk.
Dari
hadis di atas dapat kita telaah bahwa perbuatan sahabat terhadap pelaksanaan ‘uqubah
cambuk. Khalifah Abu Bakar melaksanakan 40 kali cambuk untuk pelaku jarimah
Khamar sedangkan Khalifah Umar bin Khattab menetapkan 80 kali cambukan bagi
pelaku Khamar. Dalil-dalil dan praktik sahabat inilah
yang kemudian diadopsi oleh ulama mazhab dalam kitab-kitab fikih sehingga
hukuman cambuk dianggap sebagai salah satu ketentuan yang sudah ditetapkan oleh
Allah dan Rasul untuk kasus-kasus tertentu.[7]
Rumusan
hukuman cambuk yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 merupakan hasil
ijtihad dan telah menjadi hukum positif nasional, sehingga dalam penegakannya
memerlukan kekuasaan negara melalui aparat penegak hukum yaitu kepolisian,
kejaksaan, Mahkamah Syar’iyah dan advocad serta lembaga lain terkait[8].
Dalam Qanun Hukum Acara Jinayat, sebagaimana disebut dalam Pasal
262 ayat (1) dan (2) yang berbunyi: “(1) ‘Uqubah cambuk dilaksanakan di
suatu tempat terbuka dan dapat dilihat oleh orang yang hadir. (2) Pelaksanaan ‘Uqubah
cambuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh dihadiri oleh anak-anak
dibawah umur 18 (delapan belas) tahun”.
Keberlansungan bentuk hukuman cambuk ini pada dasarnya hingga kini
tetap memiliki sisi pro kontra, baik dalam masyarakat Aceh sendiri maupun
dengan kritikan dari media-media luar Aceh. Sikap penolakan dengan berbagai
dalih seperti melanggar HAM dan tidak manusiawi.
Kendati demikian, penerapan hukuman cambuk hingga kini masih tetap
berlajut. Dalam perkembangan pelaksanaan hukuman cambuk memicu
kritikan-kritikan mengenai pelaksanaan hukuman cambuk ini. Dalam hal ini lebih
mengarah bahwa hukuman ini tidak layak untuk di persaksikan di tempat-tempat
umum, melainkan harus di tempat tertutup.
Pada praktiknya, pelaksanaan di suatu tempat terbuka demi
memperoleh efek jera bagi pelaku dengan diharapkan timbulnya rasa malu karena
dilakukan di depan khalayak ramai. Seperti hukuman cambuk yang dilaksankan
terhadap delapan pelanggar Qanun Jinayat, di halaman Masjid Jami’ Lueng Bata,
Banda Aceh (20/4).
Dari pantauan Serambinews.com, warga yang menghadiri
eksekusi hukuman cambuk di halaman Masjid Jami’ Lueng Bata, Banda Aceh
menggunakan telepon seluler untuk merekam eksekusi cambuk terhadap delapan
pelanggar syariat Islam.[9]
Penulis melihat bahwa hal ini sangat berdampak bagi pelaku. Video yang telah
direkam bisa dengan cepat tersebar di dalam masyarakat, terlebih lagi hal ini
menjadi permasalahan bagi pelaku jika dikemudian hari ketika mungkin pelaku
pelanggar syariat Islam ini telah tobat namun masih dibayang-bayangi dengan
videonya di masa lalu yang bisa dengan mudahnya di akses kembali.
Pada perkembangan pelaksanaan ‘Uqubah cambuk
dewasa ini berdasarkan ketentuan dalam Pasal 262
ayat (1) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 mengenai tempat
terbuka dan dilihat oleh yang hadir kemudian mengalami perubahan yang di atur
di dalam Pergub No.5 Tahun 2018 Pasal 30 ayat
(1) hingga (3) yang berbunyi: “Uqubah cambuk dilaksanakan di suatu
tempat terbuka dan dapat dilihat oleh orang yang hadir. (2) Pelaksanaan ‘Uqubah
cambuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh dihadiri oleh anak-anak
dibawah usia 18 (delapan belas) tahun. (3) Tempat terbuka sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bertempat di Lembaga Permasyarakatan/Rutan/Cabang Rutan.
Di keluarkannya Peraturan Gubernur No.5 Tahun 2018 tentang
pelaksanaan ‘uqubah cambuk di lembaga permasyarakatan menjadi sebuah
permasalahan yang menimbulkan pro kontra di dalam masyarakat. Kendati demikian,
penulis dalam karya ilmiah ini tidak melihat mengenai pro kontra dalam
masyarakat melainkan melihat kepada permasalahan yang lebih mengarah tentang pelaksanaan
‘uqubah cambuk di lembaga permasyarakatan dengan tinjauan Maqashid
al-syari'ah.
Pada dasarnya pelaksanaan hukuman cambuk memiliki tujuan
pemidanaan, secara umum, tujuan umum pemidanaan dalam Islam tercakup tujuan
utama hukum Islam yaitu untuk menjaga lima hal pokok yaitu agama, jiwa,
kehormatan, harta, dan keturunan.[10]
Lebih umum lagi, tujuan hukum Islam adalah jalb al-mashalih wa daf’ al-mafasid (memelihara
kemashlahatan dan menghindari kemafsadatan [kerusakan]).[11] Secara
khusus, para ulama menyatakan bahwa tujuan pemidanaan dalam hukum Islam adalah
untuk pencegahan (deterence, ar-radd wa zajr) dan pembinaan (reformation,
al-ishlah wa al-tahdzib).[12]
Namun
demikian, walaupun tujuannya untuk melindungi manusia dari berbagai kesulitan,
kerugian, derita, dan nestapa, tapi hukum pidana juga mengatur pemberian
nestapa dan derita kepada manusia yang melanggar hukum.[13]
Dekat
dengan hal ini, dalam pidana Islam dikenal teori zawajir (pencegahan)
dan jawabir (paksaan).[14]
Daya
paksa ini juga dibutuhkan untuk melindungi kepentingan masyarakat dari segala
bentuk ancaman.[15]
Bahkan
boleh jadi untuk melindungi kepentingan masyarakat itu, hukuman mati harus
dijatuhkan.21[16]
Secara
khusus, tujuan pemidanaan dalam Syariat Islam adalah untuk memberi efek jera
dan pembelajaran baik bagi pelaku maupun bagi orang lain yang berpotensi
membuat kejahatan yang sama. Abdul Qadir Audah menyatakan bahwa selain untuk
memperbaiki pelaku, hal yang paling utama harus dilakukan dalam memerangi
tindakan kejahatan adalah melindungi masyarakat dari kejahatan itu sendiri.[17]
Penulis dalam hal ini mengaitkannya
dengan tujuan penetapan hukum atau yang sering dikenal dengan istilah Maqashid
al-syari'ah merupakan salah satu konsep penting dalam kajian hukum Islam.
Adapun inti dari teori maqashid al-syari'ah adalah untuk mewujudkan
kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak
madharat. Istilah yang sepadan dengan inti dari maqashid al-syari'ah tersebut
adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat.
Permasalahan ini erat kaitannya dengan penetapan pemindahan tempat pelaksanaan hukuman cambuk yang tertuang dalam Pergub No.5 tahun 2018 tentang pelaksanaan ‘uqubah cambuk di lembaga permasyarakatan. Hal inilah yang menjadi dasar penulis untuk mengkaji dan membahasnya lebih mendalam serta menjadi judul penelitian dalam bentuk skripsi yaitu “TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI'AH TERHADAP PERATURAN GUBERNUR NO.5 TAHUN 2018 TENTANG PELAKSANAAN ‘UQUBAH CAMBUK DI LEMBAGA PERMASYARAKATAN PROVINSI ACEH”
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian yang terkandung di dalam latar belakang masalah maka dirumuskan beberapa
permasalahan yaitu :
1. 1. Bagaimana Mekanisme Pelaksanaan ‘Uqubah Cambuk di Lembaga Permasyarakatan Provinsi Aceh dalam Peraturan Gubernur No.5 Tahun 2018?
2. 2. Bagaimana Tinjauan Maqasid al-Syari’ah Terhadap Peraturan Gubernur no.5 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan ‘Uqubah Cambuk di Lembaga Permasyarakatan?
1.3.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Layaknya
sebuah penelitian yang memiliki tujuan tertentu, maka penelitian ini dilakukan
untuk tujuan tertentu pula, yaitu :
1.
Tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini:
a. Untuk mengetahui dan menganalisa bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap Peraturan Gubernur No.5 Tahun 2018 tentang pelaksanaan ‘uqubah cambuk di lembaga permasyarakatan.
b. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan
hukum Islam terhadap Peraturan Gubernur No.5 Tahun 2018 tentang pelaksanaan ‘uqubah
cambuk.
2.
Kegunaan
Penelitian
a. Secara teoritis, hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan informasi bagi fakultas syari’ah
dan hukum terlebih khusus bagi program studi hukum pidana Islam dan diharapkan
sebagai sumbangsih pemikiran yang positif bagi pengembangan khazanah ilmu
pengetahuan hukumagar tetap hidup dan berkembang.
b. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas terutama mengenai pandangan terhadap penerapan pelaksanaan ‘uqubah cambuk di lembaga permasyarakatan.
1.4. Penjelasan Istilah
Dalam penulisan karya ilmiah,
penulis memandang penjelasan istilah sangat diperlukan untuk membatasi ruang
lingkup pengkajian serta untuk menghindari terjadinya salah penafsiran dalam
memahami pembahasan skripsi ini nantinya, adapun penjelasan istilah yang
terkandung dalam karya ilmiah ini antara lain:
1. Maqashid
al-syari'ah
Maqashid al-syari'ah terdiri dari
dua kata, maqashid dan syari'ah. Kata maqashid merupakan bentuk jama' dari
maqshad yang berarti maksud dan tujuan, sedangkan syari'ah mempunyai pengertian
hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk manusia agar dipedomani untuk mencapai kebahagiaan
hidup di dunia maupun di akhirat. Maka dengan demikian, maqashid al-syari'ah
berarti kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum. Maka dengan
demikian, maqashid al-syari'ah adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari
suatu penetapan hukum.
Menurut Satria Efendi, maqashid al-syari'ah mengandung pengertian
umum dan pengertian khusus. Pengertian yang bersifat umum mengacu pada apa yang
dimaksud oleh ayat-ayat hukum atau hadits-hadits hukum, baik yang ditunjukkan
oleh pengertian kebahasaannya atau tujuan yang terkandung di dalamnya.
Pengertian yang bersifat umum itu identik dengan pengertian istilah maqashid
al-syari' (maksud Allah dalam menurunkan ayat hukum, atau maksud Rasulullah
dalam mengeluarkan hadits hukum). Sedangkan pengertian yang bersifat khusus
adalah substansi atau tujuan yang hendak dicapai oleh suatu rumusan hukum.
Sementara itu Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan maqashid syari'ah
dengan makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh syara' dalam seluruh
hukumnya atau sebagian besar hukumnya, atau tujuan akhir dari syari'at dan
rahasia-rahasia yang diletakkan oleh syara' pada setiap hukumnya..
2. ‘Uqubah
(Hukuman)
Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘Uqubah Lafaz
‘uqubah menurut
bahasa berasal dari kata: ‘aqaba
yang sinonimnya khalafahu wa jā’a bi’aqabihi, artinya
: mengiringnya dan datang di belakangnya.[18]
Kata ‘uqubah berasal
dari kata kerja ‘aqaba-ya’qubu atau
bentuk masdarnya ‘aqba,
berarti balasan atau hukuman digunakan dalam kasus jinayat. Kata ‘uquba diartikan
balasan karena melanggar perintah syarak yang telah ditetapkan untuk melindungi
kepentingan kepentingan masyarakat umum dan menjaga mereka dari hal-hal yang
mafsadah.[19]
Di dalam Qanun No.6 Tahun 2014
tentang hukum Jinayat ‘uqubah adalah hukuman yang dapat dijatuhkan oleh
hakim terhadap pelaku Jarimah.
Sedangkan Abdul Qadir Audah memberikan devinisi hukuman sebagai berikut :
Artinya: “hukuman adalah pembalasan
atas pelanggaran perintah syarak yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat.”[20]
3. Cambuk
Melihat
pada etimologi kata cambuk, dera maupun jild sebagaimana dikatakan, dera
bermaksud cambuk dan mendera bermaksud pukulan dengan cambuk, memukul dengan
cemeti, melecut. cambuk pula berarti alat untuk melecut/memukul yang berupa
jalinan tali dari serabut atau serat kulit kayu, sesuatu yang dapat memberikan
dorongan kearah lebih baik. Mencambuk berarti memukul dengan cemeti
berkali-kali. Cambuk dalam bahasa Arab disebut jald berasal dari kata jalada
yang berarti memukul dikulit atau memukul dengan cambuk yang terbuat dari
kulit.
4. Lembaga Permasyarakatan
Dalam UU No.12 Tahun 2012 Pasal (1) tentang permasyarakatan yang dimaksud Lembaga Permasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Permasyarakatan.
1.5. Kajian Pustaka
Dalam penyusunan karya ilmiah ini,
peneliti mencoba untuk membaca, meninjauh serta menelaah berbagai literatur
seperti jurnal, buku dan juga tidak terlepas dari penelitian-penelitian
terdahulu yang menyangkut dengan pembahasan yang penulis angkat dalam
pengerjaan karya ilmiah ini. Sepanjang pengamatan penulis, bahwa belum pernah ada karya ilmiah yang menitik beratkan penelitiannya
serta mengkaji mengenai “Tinjauan Maqasid al-Syari’ah Terhadap Peraturan Gubernur No.5 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan
‘Uqubah Cambuk Di Lembaga Permasyarakatan”.
Kendati
demikian, penulis memperoleh karya ilmiah terdahulu yang pembahasannya
mendekati dengan judul penelitian yang penulis lakukan saat ini. Karya ilmiah
tersebut adalah penelitian dari mahasiswa fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang ditulis oleh Siti Afiyatul
Rohmaniyah yang berjudul Analisis Pelaksanaan Hukuman Cambuk Bagi Pelaku
Peminum Minuman Keras Di Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqo.[21] Dalam kajian
skripsi ini membahas Hukuman cambuk yang diterapkan di Pondok Pesantren
al-Urwatul Wutsqo menimbulkan kontroversi bagi sebagian kalangan masyarakat
karena diterapkan di lingkungan pendidikan dan bukan pada ranah peradilan. Tujuannya agar santri menjadi lebih disiplin dan bertanggung jawab.
Implementasi hukuman cambuk ini masih menjadi pro dan kontra di masyarakat
umum, khususnya masyarakat Indonesia. Pelaksanaan hukuman cambuk di Pondok
Pesantren al-Urwatul Wutsqo merupakan implementasi dari tata tertib peraturan
yang berlaku bagi santrinya. Hukuman cambuk dipandang sebagai hukuman yang
sebanding dengan dosa yang dilakukan untuk memperoleh ampunan dari Allah swt.
Hukuman cambuk dijatuhkan bagi pelanggar tata tertib peraturan yaitu meminum
minuman keras dan berzina bagi yang belum menikah. Penelitian ini berasal dari
rumusan permasalahan yaitu: pertama, apa dasar hukum penerapan hukuman cambuk?
Kedua, bagaimana pelaksanaan hukuman cambuk? ketiga, bagaimana relevansi tujuan
penjatuhan pemidanaan dalam hukum pidana Islam?. Data penelitian ini penulis
peroleh melalui field research (penelitian lapangan), Sumber data dalam
penelitian ini adalah pengasuh pondok pesantren, ustadzah pondok, santri yang
dihukum cambuk.
Kemudian jurnal dengan judul Implementasi
Hukuman Cambuk Dalam Perspektif Pendidikan Islam,ditulis oleh Agus
Suparyanto mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya. Pada penelitian ini
juga saling terkait dengan penelitian sebelumnya namun menitik beratkan pada
peraturan di pesantren. Diantara sekian banyak peraturan tersebut adalah
hukuman cambuk. Hanya saja implementasi hukuman ini masih menjadi pro dan kotra
di masyarakat umum, khususnya masyarakat di lingkungan pendidikan Islam.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dalam perspektif pendidikan Islam,
hukuman cambuk ini dikategorikan ke dalam hukuman fisik yang berupa pukulan.
Pendidikan Islam sendiri juga mengajarkan adanya pemberian hukuman dengan
pukulan. Tentu saja dalam implementasinya harus benar-benar sesuai dengan
koridor syar‟i serta sangat fleksibel dan kondisional.
Dari kedua rujukan diatas, penulis
memperoleh titik temu yang saling berhubungan dan tentunya memiliki perbedaan
penelitian dengan yang penulis lakukan saat ini. Perbedaan yang paling
fundamental terletak bahwa kedua penelitian diatas berbeda pada objek
penelitian. Pada penelitian pertama melihat dari field research mengenai
pelaksaan hukuman cambuk di pesantren. Serta jurnal setelahnya melihat dari
sudut pandang pendidikan Islam terhadap pemberian hukuman yang seharusnya
implementasinya sesuai dengan ketentuan-ketentuan syar’i. Sedangkan penulis
meneliti kepada tinjauan Maqasid
al-Syari’ah terhadap
pelaksanaan ‘uqubah cambuk yang terdapat dalam Pergub No.5 Tahun 2018.
Selain itu, jurnal yang ditulis oleh
Mihfa Rizkiya dengan judul Pelaksanaan Hukuman Cambuk di Tapaktuan Menurut
Perspektif Fiqih Jinayah. Pada penelitian ini membahas tentang pelaksanaan
hukuman cambuk di Tapaktuan. Penelitian ini ingin meneliti mengapa ada
perbedaan mendasar antara hukuman cambuk menurut fiqh jinayah dengan hukuman
cambuk yang diterapkan di Aceh, terutama hukum yang telah diterapkan oleh
masyarakat dikecamatan Tapaktuan kabuparten Aceh Selatan, yang notabenenya
berdasarkan syari’at Islam. Serta ingin meneliti kendala apa saja yang
menghambat berjalannya proses eksekusi cambuk ini bagi pelaku tindak pidana.
Dalam penelitian ini penulis memperoleh kesimpulan yang sangat mendasar yaitu terdapat
perbedaan yang mendasar terhadap penerapan hukuman cambuk di Aceh dengan
penerapan hukuman cambuk menurut jinayah yaitu dari segi bilangan
cambukan.Perbedaan ini disebabkan karena penerapan syari’at Islam di Aceh ini
belum sepenuhnya merujuk seperti apa yang diajarkan di agama dan pelaksanaan
syari’at Islam di Aceh ini dilakukan secara bertahap dan masih dalam taraf uji
coba atau belum sempurna.
Mengenai
penelitian diatas, penulis mendapati perbedaan dengan penelitian yang sedang
penulis jalankan. Perbedaannya yaitu terletak pada titik fokus dari penelitian
tersebut. Dalam penelitian diatas menelaah mengenai pelaksanaan hukuman cambuk
yang telah berlangsung dan dijalankan dalam masyarakat selama ini di Tapaktuan
dengan menggunakan pendekatan Figh Jinayah. Sedangkan penulis meninjau terhadap
pelaksanaan hukuman cambuk yang telah diundangkan dalam Pergub dengan
perspektif analisis Maqasid
al-Syari’ah.
Terdapat juga skripsi yang ditulis
oleh Zulfa Hanum dengan judul Pengawasan Pelaksanaan ‘Uqũbah Cambuk Di Kota
Banda Aceh (Analisis Pasal 262 Ayat (2) Qanun Hukum Acara Jinayat tentang
Pelaksanaan ‘Uqũbah Cambuk Tidak Boleh Dihadiri oleh Anak-Anak di Bawah Umur 18
Tahun). Pada karya ilmiah ini menguraikan mengenai bentuk pengawasan
pelaksanaan ‘uqubah cambuk di Kota Banda Aceh dan faktor
penghambat pengawasan pelaksanaan ‘uqubah
cambuk. Penekanan dengan melihat dari fakta yang telah
terjadi di lapangan serta ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 262 Ayat (2)
tentang pelaksanaan ‘uqubah cambuk tidak boleh dihadiri oleh anak-anak di bawah
umur 18 tahun.
Kemudian juga penelitian yang
dilakukan oleh Rabiatul Adawiyyah Binti Mamat. Merupakan skripsi mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah dengan judul Studi Tentang Hukuman Cambuk di
Malaysia (Suatu Tinjauan Hukum Pidana Islam). Dari uraian yang terdapat
pada karya ilmiah ini penulis mengetahui bahwa pembahasan pokok yang di bahas
dalam skripsi ini ialah mengenai perjalanan dan pelaksanaan hukuman cambuk pada
penerapan hukum syariah di Malaysia serta pembahasan tersebut berlanjut
mengenai sesuai atau tidak dengan ketentuan dalam Islam.
Mengenai dua skripsi terakhir yang penulis uraikan diatas sejuah pengamatan penulis memiliki perbedaan dengan tema yang penulis usung dalam karya ilmiah ini secara khusus. Dari semua skripsi yang memiliki keterkaitannya dengan tulisan penulis diatas, maka penulis tidak menemukan ada yang secara khusus membahas tentang tinjauan Maqashid al-syari'ah terhadap Peraturan Gubernur No.5 Tahun 2018 tentang pelaksanaan ‘uqubah cambuk di lembaga permasyarakatan.
1.6. Metode Penelitian
Di
dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dengan pendekatan tersebut,
penulis akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang
sedang diteliti untuk mencari jawabannya pendekatan-pendekatan yang digunakan
dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang atau statute approach,
pendekatan kasus atau case approach, pendekatan historis atau historical
approach, pendekatan komparatif atau comparative approach, dan
pendekatan konseptual atau conceptual approach.[22]
1. Jenis dan Sifat Penelitian
a.
Jenis
Penelitian
Dalam
karya ilmiah ini penulis mengambil pendekatan jenis penelitian hukum normatif
yaitu penelitian yang meneliti kaidah atau aturan hukum sebagai suatu bangunan
sistem yang terkait dengan suatu peristiwa hukum. Penelitian ini dilakukan
dengan maksud untuk memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah
sesuatu peristiwa sudah benar atau salah serta bagaimana sebaiknya peristiwa
itu menurut hukum.[23]
b.
Sifat
Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan membuat gambaran atau kajian secara sistematis, aktual dan akurat berdasarkan fakta-fakta yang nyata serta menganalisis hubungan antara peraturan perundang-undangan yang ada dengan gejala yang sedang diteliti.[24]
2. Sumber Data
Pada
Penelitian sumber datanya ialah data sekunder yaitu bahan yang memberi
penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang, hasil
penelitian, hasil karya ilmiah dari kalangan hukum misalnya buku-buku fikih,
laporan ilmiah, arsip, berita-berita dan tulisan di mass media dan lain
sebagainya. Bahan hukum sekunder dapat juga diperoleh dari media elektronik (internet),
tulisan serta berita-berita yang relevan dengan penelitian.
3.
Teknik Pengumpulan
data
Dalam
pengumpulan data, penulis mencari dasar hukum ilmiyah yang berkaitan dengan
judul pembahasan baik dari Al-Qur‟an maupun Al-Hadits. Teknik Pengumpulan data
yang dilakukan pada penelitian hukum normatif yakni melalui studi pustaka (Library
Research). Tujuan dan kegunaan studi pustaka pada dasarnya untuk menunjukkan
jalan pemecahan permasalahan penelitian. Studi pustaka berguna sebagai landasan
teoritis dari permasalahan penelitian sehingga penelitian yang dilakukan
bukanlah aktifitas “trial and error”.[25]
4.
Analisis Data
Dalam penelitian ini analisis data
yang digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu menekankan analisisnya pada
dinamika hubungan antara fenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah
yang mana datanya tidak berbentuk angka tetapi lebih banyak berupa narasi,
cerita, dokumen tertulis dan tidak
tertulis, atau bentuk-bentuk non angka lainnya.[26]
Selanjutnya, penulis menarik suatu kesimpulan, maka penulis mengambil langkah
pendekatan dengan metode, yaitu:
a. Metode Deduktif: Yaitu cara membuat
kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum kepada kesimpulan yang bersifat
khusus. Hal ini penulis lakukan agar ketika berhadapan dengan ajaran Islam yang
berkenaan dengan masalah pelaksanaan hukuman cambuk supaya diterima secara
deduktif sebagai kebenaran.
b. Metode Induktif: Yaitu cara membuat
kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus kepada yang bersifat yang bersifat
umum sehingga ketika mendapat data empiris yang khusus untuk kemudian
dianalisis dan dibuat kesimpulan yang bersifat umum.
1.7. Sistematika
Pembahasan
Supaya pembahsan
lebih teratur dan memudahkan para pembaca, maka disinilah diuraikan secara
singkat mengenai sistematika pembahsan skripsi yang terdiri dari empat bab,
yaitu:
BAB SATU: Merupakan pendahuluan yang
menjelaskan dasar dari karya ilmiah ini yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, penjelasan istilah, kajian pustaka, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB DUA: Pada bab ini
akan mengurai mengenai dasar hukum
dengan pandangan atau sudut pandang hukum Islam mengenai pelaksanaan ‘uqubah cambuk serta mengaitkannya dengan Pergub
No.5 Tahun 2018 tentang pelaksanaan uqubah cambuk di lembaga permasyarakatan
BAB TIGA: Bab ini akan membahas
mengenai pelaksanaan ‘uqubah cambuk di lembaga permasyarakatan yang
tertuang dalam Pergub No.5 Tahun 2018 dengan analisis berdasarkan teori Maqasid
al-Syari’ah serta pandangan hukum Islam.
BAB EMPAT: Merupakan bab penutup dari
keseluruhan pembahasan dalam karya ilmiah ini dengan memuat beberapa kesimpulan
dan saran-saran dari penulis mengenai permasalahan yang dibahas.
[1]
Anton Widyanto, Implementasi Fiqh In Concreto, Sebuah Reorientasi
Metodologis Pelaksanaan Syariat Islam di NAD, Dinas Syariah Islam Provinsi,
Banda Aceh, 2007, hlm.70.
[2] Choiruddin
Sobari, Kearifan Masyarakat Lokal Aceh Sebagai Potret Pelaksanaan Syariat
Islam, dalam Syamsul Rijal, Dinamika
Sosial Keagamaan Dalam Pelaksanaan Syariat Islam, Dinas Syariat Provinsi
NAD, Banda Aceh, 2007, hlm. 88.
[3] Taslim H.M. Yasin, Pluralisme Agama di Wilayah Syari’at, dalam
Syamsul Rijal, dkk.,
Dinamika
Sosial Keagamaan Dalam Pelaksanaan Syariat Islam,
Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, Banda Aceh, 2007, hlm. 38.
[4] M. Din, Stimulasi Pembangunan Hukuman Pidana Nasional Dari Aceh
Untuk Indoneisa, (Bandung: UNPAD Press, 2009), hlm. 144.
[5] K.H.
Qamaruddin Shaleh, dkk, Ayat-Ayat Larangan & Perintah dalam Al-Quran, (Bandung:
CV Diponegoro, 2004), hlm. 792.
[6] M. Quraish
Shihab, Al-Lubab: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Quran,(Tangerang:
Lentera Hati, 2012), hlm. 583.
[7] Ali Abubakar,
“Kontroversi Hukuman Cambuk”, Media Syari’ah, Vol. 14, No. 1, 2012,
hal.72.
[8] Dinas
Syariat Islam Aceh, Hukum Jinayat dan Hukum Acara Jinayat, (Banda Aceh:
Naskah Aceh, 2015), hlm. x.
[9] Adnan, Serambinews.com
(Jumat 27 April 2018 08:04 WIB).
[10] Al-Syathiby,
al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, jilid II (Beirut: Dar al-fikr, 1341H),
h. 4.
[11] Juhaya
S. Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Pusat Penerbitan Universitas
LPPM Universitas Islam Bandung, 1995), h. 100.
[12] Jimly
Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana …, h. 119. Ahmad Hanafi, Asas-asas
Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 255.
[13] Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi
Syariat Islam di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi (Jakarta: Logos,
2003), h. 111.
[14] Juhaya S. Praja, Teori-teori
Hukum: Suatu Telaah Perbandingan dengan Pendekatan Filsafat (Bandung:
Pascasarjana UIN Bandung, 2009), h. 111.
[15] Ibrahim Hosen, “Fungsi dan Karakteristik
Hukum Islam dalam Kehidupan Umat Manusia”, dalam Amrullah Ahmad dkk, Dimensi
Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. DR. H.
Busthanul Arifin, SH (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), h. 90.
[16] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum
Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 256.
[17] Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri`
al-Jina’i al-Islamy: Muqarinan bi
al-Qanun al-Wadh`i, cet.
13 h. 611.
[18] Ahmad
Wardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 136.
[19] Dedy Sumardi, Hudud dan
Ham dalam Pidana Islam (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2011), hlm.
43.
[20] Rahmat
Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Pustaka Setia: Bandung,
2000), hlm. 59.
[21] Afiyatul Rohmaniyah, Analisis Pelaksanaan Hukuman Cambuk Bagi Pelaku Peminum Minuman Keras Di Pondok Pesantren Al-Urwatul Wutsqo, (Jurnal diterbitkan), UIN Walisongo Semarang 2016.
[22] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian
Hukum, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hal. 95.
[23] Fajar
N.D. dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), h.36.
[24] Soejano Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Prass,
Jakarta, 2006, hlm 10.
[25] Bambang
Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja
Grafindo
Persada, 1997), h. 114-115.
[26] M. Syamsudin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 133.
Post a Comment for "Tinjauan Maqashid Al-Syari'ah Terhadap Peraturan Gubernur No.5 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan ‘Uqubah Cambuk di Lembaga Permasyarakatan Provinsi Aceh"
Berikan Saran beserta komentar.