Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Makalah Iddah Penjelasan Lengkap

Penjelasan Lengkap Iddah
A. Defenisi Iddah
    Maknanya secara bahasa adalah hitungan, diambil dari kalimat Iddah dengan mengkasrahkan huruf ‘ain dan jama’nya adalah ‘idad. Maknanya secara bahasa adalah hitungan, diambil dari kalimat aI-‘adad karena biasanya mencakup hitungan bulan. Maknanya secara istilah menurut pendapat mazhab Hanafi adalah masa yang ditentukan secara sacara syariat dengan berakhirnya berbagai dampak perkawinan yang masih tersisa. Dengan ibarat lain, masa menunggu yang harus dilakukan oleh istri ketika ikatan pernikahan  atau syubhatnya hilang. 
    Menurut pendapat jumhur iddah adalah masa menunggu yang dijalani oleh seorang perempuan untuk mengetahui kebersihan rahimnya, untuk ibadah atau untuk menjalani masa dukanya atas kepergian suaminya. 
    Definisi iddah dapat dipaparkan dengan definisi yang paling jelas, yaitu masa yang telah ditetapkan Allah setelah terjadi perpisahan yang harus dijalani oleh si istri dengan tanpa melakukan perkawinan sampai masa iddahnya. 
    Iddah sudah dikenal dan dipraktikkan sejak masa jahiliyah, pada saat itu, mereka hampir tidak pernah meninggalkannya. Lalu ketika Islam datang, Islam mengakui dan menetapkan iddah ini, melihat banyaknya maslahat yang tersimpan dalam pensyariatan iddah. Para ulama sepakat mengenai kewajiban iddah. Hal itu berdasarkan firman Allah swt., 
 "wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (al-Baqarah [2]: 228)
Hal itu juga berdasarkan sabda Rasulullah saw. kepada Fatimah binti Qais, “Beriddahlah kamu di rumah Ibnu Ummi Maktum". 

B. Hikmah Disyariatkannya Iddah
Berikut ini beberapa hikmah disyariatkannya iddah.
  1. Untuk mengetahui kosongnya rahim dari janin, sehingga tidak terjadi percampuran (kekacauan) nasab antara satu dan yang lainnya.
  2. Memberikan kesempatan kepada kedua suami-istri untuk membangun rumah tanga kembali (rujuk), bila menurut mereka hal itu lebih baik.
  3. Mengisyaratkan keangungan sebuah pernikahan. Hal itu karna pernikahan adalah perkara yang tidak mungkin tersusun rapi melaikan melalui perundingan orang banyak, dan tidak bisa dilepaskan kecuali setelah menunggu waktu yang lama. Jika tidak begitu, maka pernikahan tidak ubahnya seperti mainan anak-anak, dapat dipasang dan dibongkar dalam sesaat.
  4. Masalahat pernikahan belum sempurna jika kedua suami-istri ini belum menampakkan kekekalan akad mereka. Jika ada peristiwa yang mengharuskan putusnya akad mereka itu, maka untuk menjaga kekekalan akad itu, hendaknya mereka diberi tempo beberapa saat untuk memikirkan dampak negatif dari putusnya akad mereka ini. 
C. Jenis-Jenis Iddah
1. Iddah Perempuan yang Haid 
    Masa ‘iddah perempuan yang dicerai yang mengalami haid yaitu tiga quru’ (tiga kali suci atau tiga kali haid). Berdasarkan firman Allah, yang artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. . . ” (Al-Baqarah [2]: 228) 
    Apabila seorang perempuan dicerai pada masa suci dari haid kemudian dia haid, kemudian suci, kemudian haid, kemudian suci, kemudian haid, apabila dia telah suci, maka habislah masa iddahnya. Demikian itu terjadi jika yang dimaksud dari quru’ itu adalah masa suci, sebagaimana pendapat jumhur ulama. Jika masuk pada haid yang ketiga, maka masa ‘iddah perempuan itu habis, dengan memperhatikan bahwa seandainya perempuan itu dicerai ketika haid, maka itu tidak dianggap satu haid yang wajib dia jalani masa ‘iddahnya. Semua ketentuan tersebut berlaku untuk wanita yang merdeka, adapun bagi budak wanita, masa ‘iddahnya itu dua quru’. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw. 
"Talaknya budak wanita adalah dua talak, dan masa 'iddahnya adalah dua haid (HR. Daruquthni)

2. Masa ‘iddah wanita yang dicerai Yang tidak mengalami haid karena usianya telah lanjut (monopause), atau karena usia yang masih kecil adalah tiga bulan. Berdasarkan firman Allah, yang artinya:

"Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (Ath-Thalaq [65]: 4)"

3. Iddah Perempuan yang Masih Haid tapi Tidak Melihat Darah Haid 
    Jika perempuan yang ditalak termasuk golongan perempuan yang masih haid, namun ia tidak melihat ada darah haid yang keluar seperti biasanya dan tidak mengetahui sebabnya, maka masa iddahnya adalah setahun. Hal itu karena sembilan bulan untuk mengetahui kosongnya rahim dari janin karena pada umumnya waktu sembilan bulan adalah masa kehamilan. Karena itu, apabila di dalam masa itu perempuan tersebut ternyata tidak hamil, berarti secara lahir sudah diketahui bahwa di dalam rahimnya tidak ada janin. Kemudian perempuan tersebut harus menjalani masa iddah perempuan yang menopause, yaitu tiga bulan. Pendirian ini merupakan pendapat yang menjadi keputusan Umar r.a.
Syafi’i berkata, “Hal ini yang diputuskan Umar r.a. kepada Muhajirin dan Anshar. Tidak ada satu pun dari mereka yang membantah keputusan Umar r.a. ini.”
 
4. Iddab Perempuan yang Hamil 
    Iddah perempuan yang hamil adalah hingga melahirkan, terlepas apakah perempuan itu ditalak atau ditinggal mati suaminya. Hal itu berdasarkan Firman Allah swt., 
“. . .Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya. . .. ” (ath-Thalaq [65]: 4)
    Di dalam kitab Zadul-Ma’ad dijelaskan bahwa firman Allah, “...waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya.... juga bermaksud apabila seorang perempuan mengandung bayi kembar, maka iddahnya hingga melahirkan kedua-duanya. 

5. Iddab Perempuan yang Ditinggal Mati Suaminya 
    Masa iddah bagi perempuan yang suaminya meninggal adalah 4 bulan 10 hari, dengan syarat perempuan itu tidak hamil. Hal itu berdasarkan firman Allah swt:
"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (al-Baqarah 21: 234)" 
    Apabila seorang suami menalak istrinya dengan talak raj’i, kemudian ketika istrinya berada pada masa iddah sang suami meninggal, maka sang istri beriddah dengan iddah perempuan yang ditinggal mati suaminya Hal itu karena ia ditinggal mati suaminya, sebab dalam masa iddah, sang istri masih tetap menjadi istri bagi suaminya yang mencerai. 

6. Iddab Perempuan yang Istihadah
    Perempuan yang istihadah beriddah dengan haid, kemudian jika ia memiliki kebiasaan tertentu, maka ia harus memperhatikan kebiasaan itu ketika haid dan suci. Apabila ia sudah haid tiga kali, maka iddahnya berakhir, namun apabila tergolong perempuan yang menopause, maka iddahnya akan berakhir setelah melewati masa tiga bulan. 

7. Iddah Perempuan Yang Ditalak Ba'in Oleh Suaminya Yang Sakra Tulmaut 
    Talak al-Far adalah seorang suami yang sedang sekarat menalak istrinya dengan talak ba’in tanpa ada persetujuan dari isrrinya, kemudian suami itu meninggal ketika dalam masa iddah istrinya. Dalam keadaan seperti ini, talak tersebut dianggap bertujuan untuk memutuskan hak waris sang istri. Karena itu, Malik berpendapat bahwa sang istri tetap mendapatkan hak warisnya, walaupun suaminya mati setelah masa iddah habis dan sang istri Sudah menikah dengan suami yang lain. Tindakan ini berlawanan dari maksud jahat sang suami. 
    Abu Hanifah dan Muhammad berkata bahwa di dalam keadaan seperti itu iddahnya berubah, yaitu beriddah dengan waktu yang paling lama antara iddah talak atau iddah karena meninggalnya suami. Apabila iddah talak lebih lama, maka ia harus beriddah dengan iddah itu. Tetapi apabila iddah karena meninggalnya suami lebih lama, maka itulah iddahnya. Perinciannya adalah, apabila sang istri melewati tiga masa haid lebih, dari 4 bulan 10 hari, maka ia beriddah dengan masa haid itu (iddah talak), Namun apabila 4 bulan 10 hari lebih lama daripada masa tiga haidnya maka ia harus beriddah dengan iddah itu (4 bulan 10 hari). Tujuan hal itu adalah agar hak waris sang istri tidak terputus seperti yang diinginkan suaminya. 
    Akan tetapi, Abu Yusuf berpendapat bahwa dalam keadaan seperti itu, perempuan tersebut beriddah dengan iddah talak, walaupun masa  iddah talak lebih sedikit dari pada masa 4 bulan 10 hari. Para ulama juga sepakat bahwa iddah akan berubah dari iddah haid menjadi hitungan bulan bagi perempuan yang hanya haid sekali atau dua kali, lalu setelah itu haidnya terputus. Dengan begitu, pada saat itu, perempuan tadi beriddah dengan tiga bulan karena tidak mungkin menyempurnakan iddah dengan iddah haid, sebab haidnya sudah terputus. Masa iddah bagi perempuan itu diganti dengan iddah hitungan bulan, jadi iddah hitungan bulan menjadi ganti haid. 

D. Waktu Minimal Beriddah Dengan Quru’ 
    Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa iddah seorang perempuan yang merdeka sekurang-kurangnya selama 32 hari l jam. Sebelumnya, sang suami menalak istrinya dalam keadaan suci. Setelah talak terjadi, masa suci ini masih tersisa 1 jam (minimal). Waktu itulah yang dikatakan quru' pertama.
Kemudian bila ia mengalami haid sehari, lalu suci minimal 15 hari, ini dihitung quru' kedua Setelah itu ia haid selama I hari, lalu suci minimal 15 hari kembali, inilah quru' yang ketiga. Dan bila ia memulai masa haid yang ketiga kali, pada saat itu masa iddahnya berakhir. Abu Hanifah berpendapat bahwa iddah perempuan tadi paling sedikit adalah 60 hari (menurut pendapat ulama yang lain adalah adalah 39 hari) Masa iddah menurut Abu Hanifah dimulai dengan haid 10 hari ini adalah masa maksimal haid kemudian disambung dengan masa suci selama 15 hari Kemudian ia mengalami masa haid lagi selama 10 hari lain masa suci selama 15 hari. Kemudian pada haid yang ketiga selama 10 hari juga. Jadi, jumlah keseluruhan masa itu adalah 60 hari. Bila perempuan tadi melewati masa itu dan ia mengaku bahwa ia telah menyelesaikan masa iddahnya, pengakuannya dapat dipercaya bila disertai dengan sumpah, kemudian ia boleh dinikahi oleh laki-lald lain. 
    Adapun menurut pendapat ulama yang lain, mereka menghitung waktu haid minimal 3 hari dan menghitung dua masa suci di antara tiga haid tadi masing-masing 15 hari. Jadi jumlah keseluruhan adalah 39 hari. Di dalam ayat lain, Allah swt. berfirman, yang artinya:
“. . . maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddabnya (yang wajar). . .. ” (ath-Thalaq [65]: 1) 
    Maksud ayat di atas adalah penjatuhan talak pada saat seorang perempuan akan menghadapi masa iddah, bukan pada masa iddah. Apabila iddah bagi perempuan yang akan ditalak ada pada masa yang akan datang satelah talak terjadi, maka masa yang akan datang setelah talak adalah haid. Hal ini karna seorang perempuan yang dalam keadaan suci (ketika ditalak), tidak mungkin menghadapi masa suci lagi karena ia tengah berada dalam masa suci itu. Tetapi, perempuan itu akan menghadapi masa haid setelah masa suci yang tengah dialaminya ketika ditalak.

E. Batas Akhir Masa Iddah 
    Bagi perempuan yang hamil, masa iddahnya adalah hingga ia melahirkan, Sedangkan bagi perempuan yang beriddah dengan hitungan bulan, maka hitungan bulan itu dimulai sejak perceraian terjadi atau sejak kematian suaminya hingga sempurna 3 bulan atau 4 bulan 10 hari. Tetapi, apabila seorang perempuan beriddah dengan haid, maka iddahnya akan berakhir dengan tiga kali haid, hal itu diketahui melalui pengakuan perempuan itu sendiri.

F. Hukum Keluar Rumah Bagi Perempuan Yang Beriddah
    Fuqaha berbeda pendapat tentang keluarnya perempuan dalam iddah karena sesuatu keperluan. Dalam hal ini ada beberapa pendapat :

a. Malik dan Ahmad berkata: Boleh keluar di waktu siang sedang diwaktu malam ia harus tetap tinggal dirumah. Dalil pendapat mereka adalah: riwayat Jabir Bin Abdillah  
”Bibiku dithalaq (oleh suaminya), kemudian ia hendak memetik buah kurmanya lalu ada seseorang yang melarangnya keluar, kemudian ia datang kepada Nabi SAW bersabda kepadanya: “Ya, petiklah buah kurmamu karena sesungguhnya engkau barangkali busa bersedekah atau berbuat suatu kebajikan”.

b. Syafi`i berkata: Perempuan yang dithalaq raj`i tidak boleh keluar rumah, baik siang maupun malam, sedang bila ia dithalaq bai`n boleh keluar di waktu siang. Dalil yang dikemukakan oleh Syafi`i adalah Pertama. Bagi perempuan yang dithalaq raj`i berdasarkan zhahir nash. Kedua, sedangkan perempuan yang dithalaq bai`n, maka berdalilkan hadist Fatimah Binti Qais sebagai berikut:“Ya, Rasulullah, aku telah dithalaq tiga oleh suamiku, sedang aku khawatir akan diolok-olok (oleh tetangga). lalu berkata:kemudian Nabi SAW menyuruh ia (pindah) lalu ia pun pindah.

c. Abu Hanifah berkata: tidak boleh keluar baik siang maupun malam, sedang bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya boleh keluar diwaktu siang. Dalil yang dipergunakan adalah keumuman firman Allah yang melarang keluar rumah mereka. 

G. Nafkah Perempuan Yang Beriddah 
    Fuqaha sepakat bahwa perempuan yang ditalak dengan talak raj'i berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Tetapi, mereka bcrbeda pendapat tentang perempuan yang ditalak dengan talak tiga sekaligus (mabtutah). Abu Hanifah berkata, “Perempuan itu berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal seperti perempuan yang ditalak dengan talak raj’i. Alasannya adalah karena ia wajib menjalani masa iddah di rumah keluarga. Jadi, ia terkurung demi hak suami kepadanya. Karena itu, sang suami wajib menafkahinya dan nafkah itu dianggap sebagai utang yang sah, terhitung sejak jatuhnya talak. Tanggung jawab suami itu tidak bergantung kepada kerelaan kedua belah pihak ataupun keputusan hakim. Utang mantan suami untuk memberi nafkah itu tidak dapat gugur melainkan bila ditunaikan oleh sang suami atau dibebaskan oleh sang istri.”
    Ahmad berkata, “Perempuan itu tidak berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Berdasarkan hadits yang menjelaskan persitiwa yang terjadi pada Fatimah binti Qajs. Suatu saat, suaminya menjatuhkan talak battah, lalu Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Kamu tidak berhak memperoleh nafkah darinya (suamimu).” Syafi’i dan Malik berkata bahwa perempuan itu berhak untuk mendapat tempat tinggal bagaimanapun keadaannya, namun ia tidak mendapatkan nafkah, kecuali apabila ia hamil. Hal itu karena Aisyah r.a. dan Ibnul Musayyab mengingkari hadits yang menjelaskan tentang peristiwa yang menimpa Fatimah binti Qais. 
Malik berkata, “Saya mendengar Ibnu Syihab berkata, perempuan yang ditalak dengan talak tiga sekaligus (mabtutah) tidak boleh dikeluarkan dari rumah keluarga hingga ia mengakhiri iddahnya, ia juga tidak berhak mendapatkan nafkah, kecuali bila ia hamil karena bila ia hamil suami wajib menafkahinya hingga ia melahirkan kandungan. kemudian Ibnu Syihab berkata, Inilah pendapat yang kuat menurut kami. 


Kesimpulan 
     Berdasarkan uraian diatas penulis menyimpulkan bahwa:
1. Iddah adalah istilah untuk masa-masa bagi seorang perempuan menunggu dan mencegah dirinya dari menikah setelah wafatnya sang suami atau setelah suaminya menceraikan dirinya.
2. Hikmah disyari’atkannya Iddah yaitu: Untuk mengetahui kosongnya rahim dari janin, sehingga tidak terjadi percampuran (kekacauan) nasab antara satu dan yang lainnya, memberikan kesempatan kepada kedua suami-istri untuk membangun rumah tanga kembali (rujuk), bila menurut mereka hal itu lebih baik, Mengisyaratkan keangungan sebuah pernikahan. Hal itu karna pernikahan adalah perkara yang tidak mungkin tersusun rapi melaikan melalui perundingan orang banyak, dan tidak bisa dilepaskan kecuali setelah menunggu waktu yang lama. Jika tidak begitu, maka pernikahan tidak ubahnya seperti mainan anak-anak, dapat dipasang dan dibongkar dalam sesaat, dan masalahat pernikahan belum sempurna jika kedua suami-istri ini belum menampakkan kekekalan akad mereka. Jika ada peristiwa yang mengharuskan putusnya akad mereka itu, maka untuk menjaga kekekalan akad itu, hendaknya mereka diberi tempo beberapa saat untuk memikirkan dampak negatif dari putusnya akad mereka ini.

3. Adapun kesimpulan jenis-jenis Iddah yaitu:
  • Iddah perempuan yang masih haid, yaitu hingga tiga kali haid.
  • Masa ‘iddah wanita yang dicerai Yang tidak mengalami haid karena usianya telah lanjut (monopause), atau karena usia yang masih kecil adalah tiga bulan.
  • Iddah perempuan yang masih haid tapi tidak melihat darah haid dan tidak mengetahui sebabnya, maka masa iddahnya adalah setahun.
  • Iddah perempuan yang sedang hamil, yaitu hingga melahirkan kandungannya.
  • Masa iddah bagi perempuan yang suaminya meninggal adalah 4 bulan 10 hari, dengan syarat perempuan itu tidak hamil.
  • Perempuan yang istihadah beriddah dengan haid, kemudian jika ia memiliki kebiasaan tertentu, maka ia harus memperhatikan kebiasaan itu ketika haid dan suci.
  • Iddah perempuan yang ditalak ba'in oleh suaminya yang sakra tulmaut yaitu perempuan tersebut beriddah dengan iddah talak
4. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa iddah seorang perempuan yang merdeka sekurang-kurangnya selama 32 hari l jam. Sebelumnya, sang suami menalak istrinya dalam keadaan suci.
5. Bagi perempuan yang beriddah dengan hitungan bulan, maka hitungan bulan itu dimulai sejak perceraian terjadi atau sejak kematian suaminya hingga sempurna 3 bulan atau 4 bulan 10 hari. Tetapi, apabila seorang perempuan beriddah dengan haid, maka iddahnya akan berakhir dengan tiga kali haid, hal itu diketahui melalui pengakuan perempuan itu sendiri.
6. perempuan yang ditinggal mati suaminya boleh keluar pada siang hari dan sebagian waktu malam, namun ia tidak boleh bermalam, kecuali di rumah keluarga.
7. Fuqaha sepakat bahwa perempuan yang ditalak dengan talak raj'i berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Tetapi, mereka bcrbeda pendapat tentang perempuan yang ditalak dengan talak tiga sekaligus (mabtutah).




Post a Comment for "Makalah Iddah Penjelasan Lengkap"