Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Analisis Kasus Pelecehan Seksual Dengan Teori Kriminologi

Pelecehan Seksual dengan Teori Kriminologi
Analisis Kasus Pelesehan Seksual dengan Teori Kriminologi



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum. Dalam negara hukum menghendaki adanya peraturan-peraturan yang jelas untuk mengatur tata kehidupan rakyatnya agar tercipta kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Ada beberapa instrumen hukum di Indonesia, salah satunya adalah hukum pidana. Supaya keadilan dapat tercipta di masyarakat, tidak cukup hukum itu hanya dituangkan dalam peraturan tertulis, tetapi harus dilihat juga realita di masyarakat bagaimana hukum itu bekerja apakah sudah benar-benar sesuai dengan keadilan di masyarakat ataukah belum. Dalam hukum pidana, untuk mengetahui bagaimana realita di masyarakat (hukum pidana empirik) dapat diketahui salah satunya dengan ilmu kriminologi.

Kriminologi menurut Bonger adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Menurutnya, kejahatan dapat terjadi karena banyak sebab seperti faktor lingkungan yang mempengaruhi seseorang untuk berbuat jahat ataupun keadaaan jiwa pelaku yang mungkin tidak normal. Sehingga, sebenarnya kejahatan itu tidak semuanya dilakukan oleh orang yang jahat. Ada orang-orang yang sebenarnya tidak jahat, tetapi karena ada beberapa faktor yang mempengaruhinya dia jadi berbuat jahat. Hal ini serupa dengan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak usia 13 tahun di Kramatjati, Jakarta Timur. Kita tidak bisa secara langsung mengatakan bahwa anak ini jahat, karena memang harus dilihat lebih dalam lagi mengapa sebenarnya anak tersebut bisa berbuat seperti itu, pasti ada beberapa faktor yang menyebabkannya. Oleh karena itu, penting sekali menganalisis sebab-sebab kejahatan yang dilakukan anak tersebut dari aspek kriminologi supaya kedepan tidak terjadi lagi kejadian-kejadian seperti dalam kasus tersebut.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang sudah disebutkan diatas, penulis merumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1. Apakah pengertian dari Tindak Pidana Pelecehan Seksual dan kriminologi ?
2. Bagaimanakan hubungan teori-teori kriminologi dengan kasus peleccehan seksual diatas ?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengerti definisi dari Tindak Pidana Pelecehan Seksual dan Kriminologi.
2. Mengerti hubungan antara teori-teori kriminologi dengan Tindak Pidana Pelecehan Seksual diatas.



BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Pelecehan Seksual
Pelecehan Seksual adalah perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seks yang diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan seks, dan perilaku lainnya yang secara verbal ataupun fisik merujuk pada seks. Pelecehan seksual dapat terjadi di mana saja baik tempat umum seperti bis, pasar, sekolah, kantor, maupun di tempat pribadi seperti rumah.

Ratna Batara Munti dalam artikel berjudul “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas” menyatakan antara lain di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tidak dikenal istilah pelecehan seksual. KUHP, menurutnya, hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. Mengutip buku “KUHP Serta Komentar-komentarnya” karya R. Soesilo, Ratna menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya.

Menurut Ratna, dalam pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harrasment yang diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments".

Dengan demikian, unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual.

Jadi, pelecehan seksual dapat dijerat dengan pasal percabulan (Pasal 289 s.d. Pasal 296 KUHP). Dalam hal terdapat bukti-bukti yang dirasa cukup, Jaksa Penuntut Umum yang akan mengajukan dakwaannya terhadap pelaku pelecehan seksual di hadapan pengadilan.
Pembuktian dalam hukum pidana adalah berdasarkan Pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), menggunakan lima macam alat bukti, yaitu:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa.

Sehingga, dalam hal terjadi pelecehan seksual, bukti-bukti tersebut di atas dapat digunakan sebagai alat bukti. Untuk kasus terkait percabulan atau perkosaan, biasanya menggunakan salah satu alat buktinya berupa Visum et repertum. Menurut “Kamus Hukum” oleh JCT Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo, visum et repertum adalah surat keterangan/laporan dari seorang ahli mengenai hasil pemeriksaannya terhadap sesuatu, misalnya terhadap mayat dan lain-lain dan ini dipergunakan untuk pembuktian di pengadilan.

Meninjau pada definisi di atas, maka visum et repertum dapat digunakan sebagai alat bukti surat, sebagaimana diatur dalam Pasal 187 huruf c KUHAP:
“Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.”

Penggunaan Visum et repertum sebagai alat bukti, diatur juga dalam Pasal 133 ayat (1) KUHAP:
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena perstiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.”
Apabila visum memang tidak menunjukkan adanya tanda kekerasan, maka sebaiknya dicari alat bukti lain yang bisa membuktikan tindak pidana tersebut. Pada akhirnya, Hakim yang akan memutus apakah terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan pembuktian di pengadilan.

B. Pengertian Kriminologi
Nama Kriminlogi ditemukan oleh P. Topinard (1830-1911) seorang ahli antropologi Prancis, secara harfiah dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat  dan “Logos” yang berarti Ilmu pengetahuan. Bonger memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.
Selanjutnya, Apakah Kasus yang kami kliping termasuk dalam obyek Kriminologi ? Jawabannya adalah benar, pelecehan seksual seperti yang terjadi dalam kasus dikipling masuk kedalam kategori obyek kriminologi dengan 3 unsurnya adalah:

a) Kejahatan, yaitu perbuatan yang disebut sebagai kejahatan. Kriteria suatu perbuatan yang dinamakan kejahatan tentunya dipelajari dari peraturan perundangan-undangan pidana, yaitu norma-norma yang didalamnya memuat perbuatan pidana. Pada pasal 290 (2) KUHP.

b) Penjahat, yaitu orang yang melakukan kejahatan. Kejahatan yang dilakuakan semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan. Studi terhadap pelaku atau penjahat ini terutama dilakukan oleh aliran kriminologi positive dengan tujuan untuk mencari sebab-sebab orang melakukan kejahatan.

c) Reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan penjahat (pelaku). Reaksi yang timbul akibat kejahatan ini akan berdampak dalam kehidupan bermasyarakat dengan sebagian atau seluruh persepsi yang dapat diberikan oleh masyarakat untuk kejahatan pelecehan seksual. Dalam kasus ini hal ini tampak dari adanya seseorang yang membuat semacam petisi di dunia maya yang isinya menginginkan pelaku dihukum lebih berat dari yang telah ditentukan oleh  peraturan perundang-undngan yang berlaku.

C. Analisis Kasus Pelecehan Seksual Dengan Teori Kriminologi
Melihat kasus pelecehan seksual ini, banyak sekali hal-hal yang selaras (cocok) dengan beberapa teori yang telah kita pelajari dalam ilmu kriminologi. Mari  coba kita hubungkan kasus pelecehan seksual ini dengan beberapa teori di bawah ini :

1. Teori Asosiasi Diferensial (Differential Association Theory) 
Inti dari teori ini yaitu pola perilaku jahat tidak diwariskan tetapi dipelajari melalui pergaulan yang akrab serta dipelajari dalam kelompok melalui interaksi dan komunikasi.
Bagian penting dari mempelajari perilaku kriminal terjadi dalam pergaulan intim dengan mereka yang melakukan kejahatan, yang berarti dalam relasi langsung di tengah pergaulan.

Dari beberapa contoh kasus yang telah ada sebelumnya seperti kasus Jis yang berhubungan intim sebab ruang lingkup pekerjaan yang sama kurang lebih mengakibatkan intensitas pertemuan mereka sangat sering dan dapat dipastikan terjadi hubungan yang akrab diantara meraka.  Dalam tulisan referensi lain, kasus yang berlangsung di Aceh besar DA(41) merupakan seorang yang berprofesi petani dan guru mengaji, relasi antara pelaku sebagai guru mengaji dengan korban yang juga merupakan santrinya, karena hubunan yang erat tersebut membuat pelaku dengan mudah melakukan tindak pidana pelecehan seksual.

Contoh kasus lainnya yang menurut penulis sesuai dengan teori ini. Tindak pidana yang dilakukan oleh soerang mahasiswa di Aceh Barat Daya. Pelaku telah melakukan kejahatan pelecehan terhadap korban sebanyak empat kali seja tahun 2015 hingga terakhir kali juli 2016.
Menurut pengakuan korban, kata dia, awalnya mereka berdua menjalin hubungan pacaran kemudian terjadilah perbuatan pelecehan seksual sebanyak empat kali sejak 2015 hingga 2016. Nah dari fakta ini penulis menghubungkan dengan teori Asosiasi deferensial yang menegaskan perilaku jahat tidak diwarisaka tapi dipelajari melalui pergaulan yang akrab.

Dalam teori ini juga menegaskan dalam tingkah laku jahat dipelajari dalam kelompok melalui interaksi dan komunikasi,  Proses mempelajari perilaku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar.
Dalam hal ini menjelaskan bahwa perilaku pelaku tidak hanya didasarkan oleh pergaulan tetapi oleh hal lain seperti melihat video porno melalui media internet untuk mempelajari sesuatu.dari beberapa rujukan koran yang telah penulis baca, terdapat beberapa fakta yang sangat miris, umur dari pelaku kejahatan tidak minim dari kalangan belasan tahun bahkan dalam kasus yang terjadi di bengkulu, tujuh tedakwa pemerkosaan siswi SMP divonis 10 tahun penjara. Hukuman terhadap ketujuh terdakwa itu sesuai dengan tuntutan jaksa pada sidang sebelumnya. Adapun landasan yang digunakan ialah uu perlindungan anak. Ketujuh pelaku ialah anak dibawah umur, nah hal ini sangat miris dan hal ini juga disebabkan dari lingkungan pelaku yang mungkin sering menonton vidio porno.

2. Teori Kontrol Sosial (Social Control Theory) 
Landasan berpikir teori ini adalah tidak melihat individu sebagai orang yang secara intriksik patuh pada hukum, namun menganut segi pandangan antitesis di mana orang harus belajar untuk tidak melakukan tindak pidana. Mengingat bahwa kita semua dilahirkan dengan kecenderungan alami untuk melanggar peraturan-peraturan di dalam masyarakat, delinkuen di pandang oleh para teoretisi kontrol sosial sebagai konsekuensi logis kegagalan seseorang untuk mengembangkan larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar hukum.

Secara garis besar teori ini bermakna melakukan kejahatan adalah pilihan sadar dari pelaku kejahatan karean buktinya ada orang yang taa terhadap hukum. Terdapat empat unsur kunci dalam teori kontrol sosial mengenai perilaku kriminal menurut Hirschi (1969), yang meliputi :

a. Kasih Sayang
Kasih sayang ini meliputi kekuatan suatu ikatan yang ada antara individu dan saluran primer sosialisasi, seperti orang tua, guru dan para pemimpin masyarakat. Akibatnya, itu merupakan ukuran tingkat terhadap mana orang-orang yang patuh pada hukum bertindak sebagai sumber kekuatan positif bagi individu.

Apa yang terjadi kepada pelaku sehingga mengalami kelainan seksual (Pedofil) dikarenakan kurangnya kasih sayang atau perhatian dari orang-orang disekitar pelaku pelaku seperti orang tua, guru, atau pemimpin masyarakat. Sebab menurut teori ini seperti sudah dijelaskan diatas setiap orang memiliki kecenderungan untuk melakukan kejahatan tetapi jika ia mendapat perhatian atau kasih saying dari orang sekitarnya maka hal tersebut dapat dijadikan sebagai alat pencegah dalam melakukan  hal tersebut. Dalam kasus yang telah tertera dalam tulisan ini, terdapat latarbelakang pelaku ialah seorang ayah tiri dari pelaku, seperti kasus yang terjadi di Bekasi dan Pontianak.

b. Komitmen
Sehubungan dengan komitmen ini, kita melihat investasi dalam suasana konvensional dan pertimbangan bagi tujuan-tujuan untuk hari depan yang bertentangan dengan gaya hidup delinkuensi.
Sehingga dapat dianalogikan seperti ikatan dalam pengetahuan masing-masing orang bahwa jika kita melakukan perbuatan-perbuatan kejahhatan dan bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat dapat menyebabkan rusaknya masa depan mereka akibat tindakan mereka tersebut. Hal itulah yang tidak dipahami dan diresapi dengan baik baik oleh pelaku kejahatan ini.

c. Keterlibatan
Keterlibatan, yang merupakan ukuran kecenderungan seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan konvensional mengarahkan individu kepada keberhasilan yang dihargai masyarakat.
Menyibukkan diri dengan perbuatan-perbuatan yang positif dapat menghindarkan orang untuk melakukan perbuatan kejahatan, hal tersebut yang mungkin tidak dilakukan oleh pelaku sehingga mereka terdorong kepada nafsu mereka dan melakukan perbuatan tersebut.

d. Kepercayaan
Akhirnya kepercayaan memerlukan diterimanya keabsahan moral norma-norma sosial serta mencerminkan kekuatan sikap konvensional seseorang.
Jika dikaitkan dengan kasus diatas dapat kita lihat bahwa apa yang terjadi pada pelaku mungkin dikarenakan kurangnya memahami kepercayaan yang mereka anut. Sebab tidak ada kepercayaan manapun didunia ini yang tidak melarang perbuatan tersebut.






BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat kita ketahui bahwa segala bentuk tindak pelecehan seksual merupakan suatu kejadian sosial yang mempunyai dasar dalam masyarakat. Keadaan masayarakat yang sanantiasa menjadikan dasar perbuatan pelecehan seksual tersebut berlangsung maka perbuatan ini akan terus menjjadi perbuatan yang terus berlangsung hingga akar permasalahan tersbut terselsaikan dengan seluruhnya. Dalam kriminologi teori yang berhubungan adalah teori difensiasi asosiasi yang mempelajari bahwa kejahatan itu dipelajari seseorang oleh orang lain yang berhubungan ataupun berkomunikasi secara intim satu sama lain. Lalu ada teori control social dimana melakukan kejahatan adalah pilihan sadar dari pelaku kejahatan karean buktinya ada orang yang taat terhadap hukum.

Post a Comment for "Analisis Kasus Pelecehan Seksual Dengan Teori Kriminologi"