Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pidana Mati dan Pidana Penjara di Indonesia


Pidana Mati dan Pidana Penjara di Indonesia
Pidana mati dan pidana penjara merupakan bagian dari jenis-jenis pidana yang berlaku berdasarkan hukum pidana positif Indonesia. Sebagaimana diketahui kedua bentuk pidana tidaklah dapat dikumulasikan. Hanya saja dalam tataran das sein hal ini sering terjadi terhadap terpidana mati. Oleh karena keganjilan tersebut penulis akan mencoba menguraikan pidana mati dan pidana penjara secara terpisah serta korelasi kedua jenis pidana dalam permasalahan pidana mati guna mempermudah memahami hasil penelitian penulis yang akan diuraikan pada bab berikutnya.
1. Pidana Penjara
Pidana penjara merupakan jenis hukuman yang berdasarkan pelakasanaannya mempunyai kemiripan pelaksanaan pidana kurungan. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Satochid Kartanegara yang menyatakan kedua bentuk hukuman ini sama-sama dilakukan dengan cara merampas kemerdekaan orang-orang yang melanggar undang-undang. Hanya saja, pada pidana kurungan si narapidana mempunyai beberapa hak istimewa yang tidak dipunyai oleh narapidana hukuman penjara dan begitu juga sebaliknya. Adapun hak yang tidak dimiliki oleh narapidana hukuman penjara ialah hak pistole, sebaliknya narapidana pidana kurungan tidak berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.

Berdasarkan sejarah, pelaksanaan pidana penjara sebagai bentuk hukuman yang merampas kemerdekaan barulah dikenal pada awal abad ke-18. Pada saat itu pidana pejara lahir sebagai pidana baru yang berbentuk membatasi kebebasan bergerak, merampas kemerdekaan, menghilangkan kemerdekaan yang harus dirasakan sebagai derita selama menjalani pidana penjara bagi narapidana.[1] Indonesia sendiri mengenal pidana penjara secara normatif sejak diberlakukan berdasarkan ordonantie10 Desember 1917 Staatsblad tahun 1917 No. 708 yang dikenal dengan Gestichtenreglement[2] yang berinduk pada WvS.

Pada saat ini, pelaksanaan pidana penjara di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan dan dan berbagai peraturan dibawahnya. Dalam hal itu, pelaksanaan pidana penjara disesuaikan dengan fungi pokok Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat narapidana dibina selama menjalani pidana yang dijatuhkan padanya dan dalam hal ini narapidana juga dikategorikan sebagai warga binaan Lembaga Pemasyarakata. Adapun fungsi pokok Lembaga Pemasyarakatan yaitu membina serta mempersiapkan para narapidana supaya dapat hidup bermasyarakat tanpa menggangu dan merugikan anggota masyarakat yang lain.[3]

Berdasarkan pasal 12 ayat (1) KUHP, pidana penjara dibagi menjadi dua yaitu seumur hidup dan selama waktu tertentu. Dilihat dari sudut penjatuhan pidana dan juga sudut terpidana, pidana seumur hidup bersifat pasti (definite sentence) karena si terpidana dikenakan jangka waktu yang pasti (a definite periode of time), yaitu menjalani pidana sepanjang hidup di dunia ini[4]. Selain itu, pidana seumur hidup juga dianggap sebagai bentuk hukuman yang berlebihan bagi beberapa ahli hukum dan masyarakat pemerhati hak asasi manusia. Bahkan ada pendapat seorang terpidana mati (Doris Ann Foster) di salah satu Negara bagian Amerika Serikat yang secara frontal menolak pidana penjara seumur hidup. Ia menyatakan, bahwa ia hanya mau mati atau dibebaskan (lebih baik mati dari pada pidana seumur hidup. I want to die or to be free, katanya.[5]

Menurut penulis, apa yang disampaikan Foster sangatlah menarik untuk dicermati, dikarenakan hampir sebagia besar terpidana mati memiliki pandangan yang berbeda sengan Foster. Namun, Pada pidana penjara selama waktu tertentu ukuran pemidanaan (strafmaat) paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. Pidana penjara selama waktu tertentu dapat pula dijatuhkan dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang diancam dengan pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu atau apabila terdapat perbarengan (concursus), pengulangan (recidive) ataupun ditentukan lain oleh aturan perundang-undangan di luar KUHP.

Selain pidana penjara seumur hidup, bentuk pidana penjara selama waktu tertentu berdasarkan fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan yang telah melahirakan suatu sistem pembinaan.[6]

Berdasarkan penjelasan di atas, timbullah kontradiksi yang mencolok antara pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu berdasarkan aspek tujuan pemidanaan. Dalam hal ini, Barda Nawawi arief berpendapat :
Mengingat sifat/karakterisitik pidana seumur hidup yang demikian, maka sebenarnya ada kontradiksi ide antara pidana seumur hidup dengan sistem pemasyarakatan ini. Pidana penjara seumur hidup lebih berorientasi pad aide perlindungan kepentingan masyarakat, sedangkan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan lebih berorientasi pada ide perlindungan kepentingan masyarakat, sedangkan pidana penjara denagn sistem pemasyarakatan  lebih berorientasi pada ide perlindungan/pembinaan dan perbaikan (rehabilitasi) si terpidana untuk dikembalikan kepada masyarakat.[7]

Jadi dapat penulis simpulkan bahwa ada ketidak singkronan pada sistem pemasyarakatan dengan bentuk pidana seumur hidup. Oleh karena itu, sudah sepatutnya diadakan perbaikan-perbaikan pada pidana penjara sebagai sarana penal yang paling “laris” untuk menghindari kekeliruan yang dapat muncul di kemudian hari.

2. Pidana Mati
Bentuk pidana ini merupakan hukuman yang dilaksanakan dengan merampas jiwa seseorang yang melanggar ketentuan undang-undang. Pidana ini  juga merupakan hukuman tertua dan paling kontroversial dari berbagai bentuk pidana lainnya. Tujuan diadakan dan dilaksanakannya hukuman mati supaya masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki adanya gangguan terhadap ketentaraman yang sangat ditakuti oleh umum.[8]

Berdasarkan sejarah pidana mati bukanlah bentuk hukuman yang relatif baru di Indonesia. Pidana ini telah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan. Hal ini dapat dibuktkan dengan memperhatikan jenis-jenis pidana menurut hukum adat atau huum para raja dahulu, umpamanya :
a. mencuri dihukum potong tangan ;
b. pidana mati dilakukan dengan jalan memotong-motong daging dari badan (sayab), kepala ditumbuk (sroh), dipenggal dan kemudian kepalanya ditusuk dengan gantar (tanjir), dan sebagainya.[9]

Pelaksanaan eksekusi mati di wilayah Indonesia tidak hanya terpatok pada keterangan di atas. Misalnya, di Aceh eksekusi bisa dilaksanakan dengan lembing, di Bali dapat dilaksanakan dengan cara ditenggelamkan ke laut,sedangkan pada suku batak dilaksanakan dengan sistem alternatif dimana apabila pembunuh tidak membayar uang salah maka eksekusi bisa dilaksanakan, dan berbagai macam jenis-jenis eksekusi mati lainnya. Dengan memperhatikan kebiasaaan (adat) dan hukum adat dari Aceh sampai Irian memperlihatkan kepada kita pidana mati dikenal oleh semua suku di Indonesia. Hingga penulis menarik kesimpulan bahwa bukan Belanda lah yang memperkenalkan pidana mati pada bangsa ini.
Penerapan hukum pidana oleh pemerintah Belanda di wilayah Indonesia diberlakukan berdasarkan  pemberlakuan “Wet boek van Strafrecht” yang mulai berlaku pada 1 Januari 1918. Pada ketentuan ini, pidana mati ditetapkan sebagai salah satu jenis pidana pokok yang tertuang dalam pasal 10. Pelaksanaan eksekusi pidana mati dilakukan dengan hukuman gantung sebagaimana diatur dalam pasal 10 KUHP. Kemudian dengan Staatsblad 1945 Nomor123 yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda, pidana mati dijatuhkan dengan cara ditembak mati. Hal ini diperkuat dengan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tahun 1964, Lembaran Negara 1964 Nomor 38 kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang nomor 5 Tahun 1969 yang menetapkan bahwa pidana mati dijalankan dengan cara menembak mati terpidana. Dalam hal ini eksekusi harus dihadiri Jaksa (Kepala Kejaksaan Negeri) sebagai eksekutor dan secara tekhnis pelaksaan eksekusi dilakukan oleh regu tembak kepolisian.

Patut diketahui bahwa pelaksanaan eksekusi terhadap terpidana mati haruslah dilaksanakan setelah putusan pengadilan yang dijatuhkan padanya berkekuatan hukum tetap dan kepada si terpidana telah diberikan kesempatan untuk mengajukan grasi kepada Presiden. Pelaksanaan eksekusi dapat dilaksanakan dengan terlebih dahulu melalui fiat executie (persetujuan Presiden).

Maka jelaslah disini bahwa pidana mati pada dasarnya dan seharusnya dijadikan sebagai sarana penal yang terakhir dan hanya dapat dipergunakan terhadap orang-orang yang tidak dapat dilakukan pembinaan lagi dan dirasakan membahayakan kehidupan masyarakat luas bahkan negara sekalipun 

Mengenai korelasi pidana penjara secara normatif tidak ada kaitanya sama sekali, hanya saja pidana mati dipergunakan sebagai sarana bagi Negara untuk merampas kemerdekaan terpidana menjelang dilaksanakan eksekusi agar ia tidak melarikan diri. Berdasarkan hal tersebut, timbulah permasalahan dimana sarana pidana penjara seolah dijatuhkan Negara sebagai bentuk  hukuman tambahan terhadap terpidana mati. Dikatakan demikian karena kecendrungan yang terjadi di negeri kita pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Maka di Negara ini seolah-olah sebagian besar terpidana mati menjalani dua bentuk hukuman sekaligus, yaitu dengan diawali pidana penjara terlebih dahulu, lalu barulah dilaksanakan pidana yang sesungguhnya dijatuhkan padanya yaitu pidana mati.

Permasalahan ini menyebabkan semakin kompleksnya problematika pada pidana mati. Kini topik pemberitaan seolah-olah bergeser menyangkut problematika penundaan eksekusi pidana mati.[10] Oleh beberapa alasan yang penulis sebutkan tersebutlah suatu pro dan kontra terhadap eksistensi mengenai lembaga pidana mati.






[1] Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 88.
[2] Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Op.cit., hlm. 61.
[3] Dalil Adisubroto, Pembinaan Narapidana sebagai Sarana Merealisasikan Tujuan Pidana Lembaga Pemasyarakatan (Disampaikan dalam Seminar Nasional Tentang Pemasyarakatan : Pengintegrasian Tujuan Pemidanaan dengan Sistem Pemasyarakatan Mendatang. Fakultas Hukum UII 24 Juli 1995.
[4] Dwidja Priyatno, Op.cit., hlm. 1.
[5] A. Hamzah & A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 74.
[6] Dwidja Priyatno, Op.cit., hlm. 3.
[7] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 238.
[8] R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia (Edisi Revisi), Rajawali Pers, Jakarta, 2005, hlm. 187.
[9] R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Politea, Bogor,hlm 14.
[10] J.E. sahetapy, Op.cit.,  hlm 75.

Post a Comment for "Pidana Mati dan Pidana Penjara di Indonesia"