Alat Bukti Petunjuk
![]() |
Alat Bukti Petunjuk |
Sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri dari yang tingakat paling awal, yakni Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, dan kemudian Lembaga permasayarakatan. Dalam proses yang dijalani pada peradilan pidana Indonesia, sesuai dengan sistem yang telah diatur maka tujuan dari peradilan pidana tersendiri adalah untuk memutuskan perkara pidana, apakah seseorang yang dihadapkan dimuka peradilan terbukti bersalah atau tidak.
Pembuktian bersalah atau tidaknya seseorang harus sangat diperhatikan, hal ini sesuai dengan asas praduga tak bersalah, pemeriksaan yang dilakukan mulai dari tahap di kepolisian sampai pembuktian di muka pengadilan perlu penanganan yang benar, saat seseorang dituduh melakukan sebuah tindak pidana maka proses pemeriksaan di pengadilan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, tidak boleh adanya kepalsuan terencana, serta pelaku tentu harus bebas dari tekanan ancaman mulai adri penagkapan sampai penjatuhan pidana. mengenai hal ini sangat erat hubungannya dengan kekuatan dari setiap alat bukti yang dihadirkan di dalam proses peradilan.
Dalam Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia diantaranya diatur tentang pembuktian. Untuk pembuktian hakim dapat menjatuhkan pidana, berdasarkan Pasal 183 KUHAP sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang dan disertai dengan keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa. Salah satu alat bukti dalam pembuktian perkara pidana yaitu alat bukti petunjuk. Termuat dalam Pasal 188 Ayat (1) KUHAP:
“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.”
keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakankepadanya melainkan harus dibuktikan dengan alat bukti yang lain. Dikaitkan juga pada Pasal 188 ayat 1 KUHAP menegaskan petunjuk adalah perbuatan, kejadian,keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatutindak pidana dan siapa pelakunya. Kesesuaian dimaksud adalah kesesuaian antaraketerangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa disertai dengan barang buktisehingga petunjuk memiliki kekuatan yang tetap untukmempertahankan eksistensinya.
Dari pengertian yang merujuk kepada KUHAP maka penulis mencoba merangkum pemahaman terhadap petunjuk, yakni:
a. Perbuatan, atau kejadian atau keadaan.
b. Karena persesuainnya satu dengan yang lain.
c. Persesuainnya dengan tidak pidana itu sendiri.
d. Menunjukkan telah terjadi suatu tindak pidana, dan,
e. Siapa pelakunya.
Petunjuk dapat berupa sebuah keterangan, namun tidak semua keterangan itu dapat dijadikan petunjuk. keterangan yang didaptkan tersebut kemudian akan memberatkan (A charge) ataupun sebaliknya keterangannya itu dapat meringankan (A de charge)
Menurut P.A.F. Lamintang, petunjuk itu memang hanya merupakan dasar yang dapat digunakan oleh hakim untuk menganggap sesuatu kenyataan sebagai alat bukti, atau dengan perkataan lain petunjuk itu bukan merupakan suatu alat bukti, seperti keterangan saksi yang secara tegas mengatakan tentang terjadinya suatu kenyataan, melainkan ia hanya merupakan suatu dasar pembuktian belaka, yakni dari dasar pembuktian mana kemudian hakim dapat menganggap suatu kenyataan itu sebagai terbukti, misalnya karena adanya kesamaan antara kenyataan tersebut dengan kenyataan yang dipermasalahkan.
Kata “persesuaian” dalam Pasal 188 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut merupakan kekuatan utama petunjuk sebagai alat bukti karena kesesuaian tersebut atau keadaan hakim menjadi yakin akan perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Pada umumnya, alat bukti petunjuk baru diperlukan bila alat bukti yang lain belum dianggap hakim cukup membutikan kesalahan terdakwa.
Sedangkan Menurut M. Yahya Harahap Alat bukti petunjuk yakni :
“Petunjuk ialah suatu isyarat yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan dimana isyarat itu mempunyai persesuaian antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat itu mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut melahirkan atau mewujudkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya”.
Syarat dan Cara Memperoleh Alat Bukti Petunjuk
Berdasarkan rumusan Pasal 188 ayat (1), (2), dan (3), syarat-syarat alat bukti petunjuk itu ada tiga. Pertama, mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi. Kedua, keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan kejahatan yang terjadi. Ketiga, berdasarkan pengamatan hakim, baik dari keterangan terdakwa maupun saksi di persidangan.
Adapun cara memperoleh alat bukti petunjuk, Pasal 188 Ayat (2) KUHAPmembatasi kewenangan hakim dalam memperoleh alat bukti petunjuk, bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa.
Sumber inilah yang secara limitatif dapat dipergunakan untuk mengkonstruksi alat bukti petunjuk. Berdasarkan ketiga alat bukti yang disebutkan itu saja hakim dapat mengolah alat bukti petunjuk dan dari ketiga alat bukti tersebut persesuaian perbuatan, kejadian atau keadaan dapat dicari dan diwujudkan.
B. Urgensi dan Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Petunjuk
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan terdakwa.
Berdasarkan Ketentuan Pasal 183 tersebut di atas, putusan hakim haruslah didasarkan pada 2 (dua) syarat, yaitu : (a) Minimum 2 (dua) alat bukti ; (b) Dari alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.
Mengenai kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk, serupa sifat dan ketentuannya dengan alat bukti lain, hanya mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang bebas. Artinya, hakim tidak terikat dengan kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu, hakim bebas menilainya dan menggunakan sebagai upaya pembuktian. Namun demikian, petunjuk sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa karena alat bukti petunjuk tetap terikat pada prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk memiliki kekuatan pembuktian, maka harus bersama-sama dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti lain.
Memahami hal tersebut di atas, dalam menilai kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk, seorang penuntut umum harus bersikap hati-hati dan teliti serta melakukan secara cermat. Begitu pula dengan hakim, seorang hakim harus bersikap arif dan bijaksana dalam menilai pembuktian agar tidak terjadi anggapan bahwa petunjuk itu merupakan pendapat pribadi maupun sangkaan atau rekaan belaka.
C. Permasalahan Alat Bukti Petunjuk
Penekanan alat bukti petunjuk adalah persesuaian antara kejadian, keadaan, perbuatan, maupun dengan tindak pidana itu sendiri. Hal ini menjelaskan bahwa di dalam sistem pumbuktian di Indonesia baik dahulu yang di atur di dalam HIR maupun sekarang yang diatur di dalam KUHAP mengisyaratkan pentingnya keyakinan hakim dalam pembuktian perkara pidana.
Semua alat bukti pada prinsipnya sama nilainya dan pentingnya, namun pada prakteknya tetap tergantung kepada peristiwa pidana yang bersangkutan. Pasal 189 Ayat (3) KUHAP, merumuskan bahwa keterangan terdakwa hanya berlaku untuk dirinya sendiri. Penegasan ini memberikan makna tentang keterangannya tidak dapat berlaku untuk orang lain atau pelaku tindak pidana, sedang keterangan kawan terdakwa yang bersama-sama melakukan perbuatan tidak dipergunakan sebagai petunjuk.
Karena adanya syarat yang satu dengan yang lain harus persesuaian, maka dengan demikian berakibat bahwa sekurang-kurangnya perlu ada 2 (dua) petunjuk untuk memperoleh alat bukti yang sah atau sebuah alat bukti petunjuk dengan satu buah bukti lain pada persesuaian dalam keseluruhan yang dapat menimbulkan alat bukti.
Apabila alat bukti keterangan saksi ataupun alat bukti lain belum mencukupi untuk membuktikan kesalahan terdakwa, maka alat bukti petunjuk merupakan sarana yang efektif, sehingga dapat memenuhi batas minimum pembuktian yang dirumuskan Pasal 183 KUHAP.
Untuk memperkuat atau mempertebal keyakinan hakim dalam memutus perkara di persidangan banyak digunakan alat bukti petunjuk meskipun tidak selalu digunakan. Beberapa pertimbangan dalam mempergunakan alat bukti petunjuk diantaranya:12 (a) Untuk menyempurnakan alat bukti yang lain; (b) Untuk mencukupi pembuktian perbuatan yang dilakukan terdakwa.
Dari uraian-uraian di atas sudah cukup terang bahwa pertimbangan hakim untuk menggunakan alat bukti petunjuk adalah untuk mempertebal atau memperkuat keyakinannya dan disisi lain haruslah memperhatikan persesuaian antara alat-alat bukti yang lain (keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa).
D. KESIMPULAN
Alat bukti petunjuk diperlukan dalam proses peradilan pidana karena untuk memenuhi batas minimum pembuktian yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP. Terlepas dari hal itu, diperlukannya alat bukti petunjuk semata-mata untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, dan sesuai dengan rumusan Pasal 188 Ayat 1 KUHAP, “petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya”.
Peran dan fungsi alat bukti petunjuk yaitu untuk memperkuat pembuktian. Kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk dalam peradilan pidana adalah keterkaitan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain. Oleh karena itu, dalam hukum acara pidana terdapat bukti yang bersifat sebagai pelengkap. Bukti tersebut timbul dari bukti yang lain. Namun karena alat bukti petunjuk timbul dari alat bukti lain, maka kekuatan pembuktiannya berada pada level paling bawah dibanding alat-alat bukti lain, dan mengenai penilaian kekuatannya alat bukti petunjuk ini diserahkan kepada hakim yang memeriksa perkara yang diharapkan bisa cermat dan teliti sehingga hakim dapat menilai suatu pembuktian dengan arif dan bijaksana.
Post a Comment for "Alat Bukti Petunjuk"
Berikan Saran beserta komentar.