Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tindak Pidana dalam RUU KUHP (KUHP Baru)

Tindak Pidana dalam RUU KUHP (KUHP Baru)
Tindak Pidana dalam RUU KUHP (KUHP Baru)



BAB SATU
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Keempat belas kalinya sejak tahun 1964, Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat RUU KUHP) dibuat. Yang terakhir untuk saat ini, RUU KUHP tahun 2004 telah digulirkan di lembaga legislatif untuk dibahas. Rancangan ini menggantikan rancangan sebelumnya, yaitu RUU KUHP tahun 1999/2000. Sebagaimana dinyatakan oleh Ketua Tim Perumusnya, Muladi, RUU KUHP tahun 2004 ini lebih maju beberapa langkah daripada rancangan sebelumnya. Ide-ide dasar seperti pemaafan korban, kategorisasi denda, dan alasan penghapus pidana yang tidak ada dalam rancangan sebelumnya dimasukkan dalam RUU KUHP tahun 2004 ini. Artikel ini menelaah RUU KUHP 2004 sekaligus mengkaji tentang ide-ide dasar yang melatarbelakangi prinsip-prinsipnya.
Sejarah pembentukan RUU KUHP 2004 tidak dapat dilepaskan dari usaha pembaharuan KUHP secara total. Usaha ini baru dimulai dengan adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum Nasional I, pada tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional secepat mungkin diselesaikan. Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan Rancangan KUHP pertama kali dan berlanjut terus sampai tahun 2004. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usaha pembaharuan hukum pidana secara universal atau menyeluruh ini masih bertahap.
Untuk mempermudah pemahaman dan pembahasan dalam makalah ini, penulis menjadikannya dalam beberapa permasalahan yang pokok, diantaranya mengenai pokok pemikiran tentang tindak pidana, pokok pemikiran tentang pertanggungjawaban pidana, serta pokok pemikiran pidana dan pemidanaan.

1.2. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Tindak Pidana dalam KUHP Baru?
2.      Bagaimana Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP Baru?
3.      Bagaimana Pemidanaan dalam KUHP Baru?




BAB DUA
PEMBAHASAN


A.    Pokok Pemikiran Tentang Tindak Pidana
a. Dasar Patut Dipidananya Perbuatan
Dasar patut dipidananya perbuatan, berkaitan erat dengan masalah sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan. Seperti halnya dengan KUHP, Konsep tetap bertolak dari asas legalitas formal (bersumber pada UU). Namun Konsep juga memberi tempat kepada “hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis” sebagai sumber hukum (asas legalitas materiel). Dalam Konsep sebelumnya sampai dengan Konsep 2002 belum ada penegasan mengenai pedoman atau kriteria untuk menentukan sumber hukum materiel mana yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas). Namun dalam perkembangan Konsep terakhir (Konsep 2004), sudah dirumuskan  pedoman atau kriteria, yaitu “sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”. Jadi, pedoman atau kriterianya bertolak dari nilai-nilai nasional maupun internasional. Sesuai dengan nilai-nilai nasional (Pancasila), artinya sesuai dengan nilai paradigma moral religius, nilai paradigma kemanusiaan, nilai paradigma kebangsaan, nilai paradigma demokrasi, dan nilai paradigma keadilan sosial.
Sejalan dengan keseimbangan asas legalitas formal dan materiel itu, Konsep juga menegaskan keseimbangan unsur melawan hukum formal dan materiel dalam menentukan ada tidaknya tindak pidana. Penegasan ini diformulasikan dalam Pasal 11 Konsep 2004 yang lengkapnya berbunyi :
1.      “Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
2.      Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.
3.      Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.
Adanya formulasi ketentuan umum tentang pengertian tindak pidana dan penegasan unsur sifat melawan hukum materiel di atas, patut dicatat sebagai suatu perkembangan baru karena ketentuan umum seperti itu tidak ada dalam KUHP saat ini.
b. Bentuk-bentuk Tindak Pidana
Sebagaimana dimaklumi, aturan pemidanaan dalam KUHP tidak hanya ditujukan pada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi juga terhadap mereka yang melakukan perbuatan dalam bentuk percobaan, permufakatan jahat, penyertaan, perbarengan, dan pengulangan. Hanya saja di dalam KUHP, permufakatan jahat dan pengulangan tidak diatur dalam Aturan Umum Buku I, tetapi di dalam Aturan Khusus (Buku II atau Buku III).
Dalam Konsep, semua bentuk-bentuk tindak pidana atau tahapan terjadinya atau dilakukannya tindak pidana itu, dimasukkan dalam Ketentuan Umum Buku I. Bahkan dalam perkembangan terakhir (Konsep 2004) ditambah dengan ketentuan tentang persiapan yang selama ini tidak diatur dalam KUHP dan juga belum ada dalam Konsep-konsep sebelumnya.
Aturan umum permufakatan jahat dan persiapan dalam Buku I Konsep, agak berbeda dengan percobaan. Perbedaannya adalah :
a.       Penentuan dapat dipidananya percobaan dan lamanya pidana ditetapkan secara umum dalam Buku I, kecuali ditentukan lain oleh UU pidana pokoknya (maksimum atau minimum) dikurangi sepertiga.
b.      Penentuan dapat dipidananya permufakatan jahat dan persiapan ditentukan secara khusus atau tegas dalam UU
Formulasi delik permufakatan jahat dalam Buku II seharusnya deliknya (tindak pidana permufakatan jahat) dirumuskan atau ditentukan dalam Buku II. Contoh perumusan deliknya sebagai berikut:  “Permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana dalam Pasal ….., dipidana”. Ancaman pidananya tidak perlu dicantumkan dalam perumusan delik ybs., kecuali akan menyimpang (membuat kekhususan) dari aturan umum.
Khususnya mengenai bentuk atau tahapan tindak pidana yang berupa percobaan, ketentuan yang diatur tidak hanya mengenai unsur-unsur (kapan) dapat dipidananya percobaan, tetapi diatur juga tentang batasan perbuatan pelaksanaan, masalah percobaan tidak mampu, masalah pengunduran diri secara sukarela dan tindakan penyesalan. Adapun ketentuan umumnya sebagai berikut:
a.       Untuk percobaan tidak mampu tetap dipidana, tetapi maksimum pidananya dikurangi setengah (Pasal 19).
b.      Untuk percobaan tidak selesai karena pengunduran diri secara sukarela, tidak dipidana (Psl. 17 ayat 1).
c.       Untuk percobaan tidak selesai karena tindakan penyesalan tidak dipidana, apabila pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya (Pasal 17 ayat 2). Kendati demikian tetap dipidana, apabila telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang-undangan telah merupakan tindak pidana tersendiri (Pasal 17 ayat 3).

Pengulangan (recidive) juga diatur secara umum dalam Buku I sebagai alasan pemberatan pidana yang umum. Jadi berbeda dengan KUHP saat ini, yang mengaturnya sebagai alasan pemberatan pidana yang khusus untuk delik-delik tertentu (diatur dalam Buku II dan III). Dikatakan ada “pengulangan” menurut Konsep (Psl. 23), apabila orang melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu 5 (lima) tahun sejak :
a.       menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan.
b.      pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
c.       kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum kedaluwarsa. Pemberatan pidananya diatur dalam Pasal 132, yaitu maksimumnya diperberat sepertiga. Namun ketentuan Pasal 132 ini tidak berlaku untuk anak (Pasal 112 Konsep).

RUU KUHP
RUU KUHP 

B.     Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP Baru
Dalam Bab Pertanggungjawaban Pidana (Kesalahan), Konsep menegaskan secara eksplisit dalam Pasal 35 (1) “asas tiada pidana tanpa kesalahan (asas Culpabilitas) yang di dalam KUHP tidak ada. Asas culpabilitas ini merupakan salah satu asas fundamental, yang oleh karenanya perlu ditegaskan secara eksplisit di dalam Konsep sebagai pasangan dari asas legalitas. Penegasan yang demikian merupakan perwujudan pula dari ide keseimbangan monodualistik.
Konsep tidak memandang kedua asas atau syarat itu sebagai syarat yang kaku dan bersifat absolut. Oleh karena itu, Konsep juga memberi kemungkinan dalam hal-hal tertentu untuk menerapkan asas strict liability dan asas pemberian maaf  atau pengampunan oleh hakim.
Dalam Buku I menegaskan, bahwa strict liability dimungkinkan untuk tindak pidana tertentu atau dalam hal-hal tertentu” (lihat Psl. 35 ayat 2 dan 3 Konsep),  maka tindak pidana atau hal-hal tertentu itu ditentukan secara spesifik dalam “aturan khusus” (misal di dalam Buku II KUHP atau UU di luar KUHP).
Dalam Buku II RUU, “ketentuan khusus” itu belum terlihat. Oleh karena itu, perlu dikaji ulang. Kemudian ketentuan mengenai kepastian hukum tidak ditempatkan dalam Bab Pertanggungjawaban Pidana, tetapi di dalam Bab Pemidanaan. Di dalam asas pemberian maaf  atau pengampunan oleh hakim. terkandung ide pokok pemikiran :
a.       Menghindari kekakuan atau absolutisme pemidanaan
b.      Menyediakan klepa atau katup pengaman
c.       Bentuk koreksi judisial terhadap asas legalitas
d.      Pengimplementasian atau pengintegrasian nilai atau paradigma “hikmah kebijaksanaan” dalam Pancasila.
e.       Pengimplementasian atau pengintegrasian “tujuan pemidanaan” ke dalam syarat pemidanaan (karena dalam memberikan permaafan atau pengampunan, hakim harus mempertimbangkan tujuan pemidanaan.
Jadi syarat atau justifikasi pemidanaan tidak hanya didasarkan pada adanya “tindak pidana” (asas legalitas) dan “kesalahan” (asas culpabilitas), tetapi juga pada “tujuan pemidanaan”. Sebagai bahan kajian perbandingan dapat dikemukakan, bahwa KUHP Australia menggunakan absolute liability untuk delik-delik Computer Crime tertentu yang diatur dalam KUHP.
Di samping itu, di dalam Bab Pertanggungjawaban Pidana ini Konsep juga mengatur tentang masalah “Kekurangmampuan Bertanggung Jawab”. Masalah “pertanggungjawaban terhadap akibat yang tidak dituju atau tidak dikehendaki atau tidak disengaja, dan masalah “kesalahan” yang semuanya itu juga tidak diatur di dalam KUHP saat ini.
Pengaturan “kesalahan”di dalam Konsep tidak berorientasi pada pandangan tradisional atau klasik, tetapi tetap berorientasi pada asas kesalahan.Karena masalah pertanggungjawaban pidana berhubungan juga dengan masalah “subjek tindak pidana”, maka di dalam Bab pertanggungjawaban pidana ini ada pula ketentuan tentang subjek berupa “korporasi”, yang selama ini juga belum diatur dalam KUHP.




C.    Pemidanaan dalam Konsep KUHP Baru
 a).  Tujuan dan Pedoman Pemidanaan
            Berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, di dalam Konsep dirumuskan tentang “Tujuan dan Pedoman Pemidanaan”. Dirumuskannya
hal ini, bertolak dari pokok pemikiran bahwa :
a.       Sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan dan pidana hanya merupakan alat atau sarana untuk mencapai tujuan.
b.      Tujuan pidana merupakan bagian integral (sub-sistem) dari keseluruhan sistem pemidanaan (sistem hukum pidana) di samping sub-sistem lainnya, yaitu sub-sistem tindak pidana, pertanggungjawaban pidana (kesalahan), dan pidana.
c.       Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi pengendali atau kontrol atau pengarah dan sekaligus memberikan dasar atau landasan filosofis, rasionalitas, motivasi, dan justifikasi pemidanaan.
d.      Dilihat secara fungsional atau operasional, sistem pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses melalui tahap formulasi (kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan judisial atau judikatif), dan tahap eksekusi (kebijakan administratif atau eksekutif), oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan atara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan.

b). Ide-ide Dasar Sistem Pemidanaan
            Sistem pemidanaan yang dituangkan di dalam Konsep, dilatarbelakangi
oleh berbagai ide-dasar atau prinsip-prinsip sebagai berikut. :
a.       Ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyarakat
(umum) dan kepentingan individu
b.      Ide keseimbangan antara social welfare dengan social defence
c.       Ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku atau
offender (individualisasi pidana) dan victim (korban).
d.      Ide penggunaan double track system (antara pidana dengan tindakan)
e.       Ide mengefektifkan “non custodial measures” (alternatives to
imprisonment
).
f.       Ide elastisitas atau fleksibilitas pemidanaan
g.      Ide modifikasi atau perubahan atau penyesuaian pidana
h.      Ide subsidiaritas di dalam memilih jenis pidana
i.        Ide permaafan hakim (rechterlijk pardon dan judicial pardon)
j.        Ide mendahulukan atau mengutamakan keadilan dari kepastian hukum.
Bertolak dari ide-ide dasar itu, maka di dalam Konsep ada ketentutuan-ketentuan yang tidak ada dalam KUHP yang berlaku saat ini, yaitu antara lain :
a.       Adanya pasal yang menegaskan asas tiada pidana tanpa kesalahan
asas culpabilitas” yang diimbangi dengan adanya ketentuan tentang
strict liability dan vicarious liability (Pasal 35)
b.      Adanya batas usia pertanggungajawaban pidana anak (Pasal 46).
c.       Adanya bab khusus tentang pemidanaan terhadap anak (Bab III Bagian Keempat)
d.      Adanya kewenangan hakim untuk setiap saat menghentikan atau
tidak melanjutkan proses pemeriksaan perkara pidana terhadap anak
(asas diversi), (Pasal 111).
e.       Adanya pidana mati bersyarat (Pasal 86)
f.       Dimungkinkannya terpidana seumur hidup memperoleh pelepasan
bersyarat (Pasal 67 jo. 69)
g.      Adanya pidana kerja sosial; pidana pembayaran ganti rugi, dan pemenuhan kewajiban adat dan atau atau kewajiban menurut hukum yang hidup (Pasal 62 jo 64)
h.      Adanya pidana minimal khusus yang disertai juga dengan aturan atau pedoman
pemidanaannya atau penerapannya (Pasal 66, 82, 120, 121,
130, 137)
i.        Dimungkinkannya penggabungan jenis sanksi (pidana dan tindakan)
j.        Dimungkinkannya pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang
berdiri sendiri (Pasal 64 ayat 2)
k.      Dimungkinkannya hakim menjatuhkan jenis pidana lain yang tidak
tercantum dalam perumusan delik yang hanya diancam dengan pidana
tunggal (Pasal 56-57)
l.        Dimungkinkannya hakim menjatuhkan pidana secara kumulatif walaupun
ancaman pidana dirumuskan secara alternatif (Pasal 58)
m.    Dimungkinkannya hakim memberi maaf atau pengampunan tanpa menjatuhkan pidana atau tindakan apapun kepada terdakwa,
sekalipun telah terbukti adanya tindak pidana dan kesalahan
(Pasal 52 ayat 2).
n.      Adanya kewenangan hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan atau
memidana si pelaku walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si
pelaku patut dipersalahkan (dicela) atas terjadinya keadaan yang
menjadi alasan penghapus pidana tersebut (dikenal dengan asas
culpa in causa” atau asas “actio libera in causa”), (Pasal 54).
o.      Dimungkinkannya perubahan atau modifikasi putusan pemidanaan, walaupun sudah berkekuatan tetap (Pasal 55 dan Pasal 2 ayat 3)






















BAB TIGA
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Konsep tetap bertolak dari asas legalitas formal (bersumber pada UU). Namun Konsep juga memberi tempat kepada “hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis” sebagai sumber hukum (asas legalitas materiel). Dalam Konsep sebelumnya sampai dengan Konsep 2002 belum ada penegasan mengenai pedoman atau kriteria untuk menentukan sumber hukum materiel mana yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas). Namun dalam perkembangan Konsep terakhir (Konsep 2004), sudah dirumuskan  pedoman atau kriteria, yaitu “sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”. Jadi, pedoman atau kriterianya bertolak dari nilai-nilai nasional maupun internasional. Sesuai dengan nilai-nilai nasional (Pancasila), artinya sesuai dengan nilai paradigma moral religius, nilai paradigma kemanusiaan, nilai paradigma kebangsaan, nilai paradigma demokrasi, dan nilai paradigma keadilan sosial.
Mengenai Bab Pertanggungjawaban Pidana (Kesalahan), Konsep menegaskan secara eksplisit dalam Pasal 35 (1) “asas tiada pidana tanpa kesalahan (asas Culpabilitas) yang di dalam KUHP tidak ada. Asas culpabilitas ini merupakan salah satu asas fundamental, yang oleh karenanya perlu ditegaskan secara eksplisit di dalam Konsep sebagai pasangan dari asas legalitas. Penegasan yang demikian merupakan perwujudan pula dari ide keseimbangan monodualistik.









DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Post a Comment for "Tindak Pidana dalam RUU KUHP (KUHP Baru)"