Hukuman dalam Islam
Hukuman dalam Islam
A. Pengertian
Menurut kamus bahasa Indonesia karangan S. Wojowasito, hukuman berarti siksaan atau pembalasan kejahatan. Dalam bahasa Arab hukuman disebut dengan iqab (singular) dan uqubah (plural), yang pada dasarnya mempunyai pengertian yang sama seperti S. Wojowasito dalam kamusnya di atas.
Abdul Qadir Audah memberikan definisi hukuman sebagai berikut:
"Hukuman adalah pembalasan atas pelanggaran perintah syara’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat".
Dari definisi tersebut, dapat kita kemukakan bahwa hukuman merupakan balasan ang setimpal atas perbuatan pelaku kejaahtan yang mengakibatkan orang lain menjadi korban akibat perbuatannya.
Dalam ungkapan lian, hukuman merupakan penimpaan derita dan kesengsaraan bagi pelaku kejahatan sebagai balasan dari apa yang telah diperbuatnya kepada orang lain atau balasan yang diterima si pelaku akibat pelanggaran (makiat) perintah syara.
B. Dasar Hukum
Berbagai kebijakan yang ditempuh oleh Islam dalam upaya menyelamatkan manusia baik perseorangan maupun masyarakat dari kerusakan dan menyingkirkan hal-hal yang menimbulkan kejahatan. Islam berusaha mengamankan masyarakat dengan berbagai ketentuan, baik berdasarkan Al Qur’an, Hadis Nabi, maupun berbagai ketentuan dari ulil amri atau lembaga legislative yang mempunyai wewenang menetapkan hukuman bagi kasus-kasus ta’zir. Semua itu pada hakikatnya dalam upaya menyelamatkan umat manusia dari ancaman kejahatan.
Dasar-dasar penjatuhan hukuman tersebut di antaranya:
Surat Shad ayat 26:
Artinya :
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu kholifah di muka bumi ini, maka berikanlah keputusan (hukuman) diantara manusia dengan adil dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapatkan siksa yang berat karena mereka melupakan hari perhitungan”
Surat An Nisa ayat 135:
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kam orangyang benar-benar sebagai penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah baik terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dari kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih mengetahui kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Janganlah kamu memutarbalikkan kata-kata atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala apa yang kami kerjakan.”
Surat An Nisa ayat 58:
Artinya :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada mereka yang berhak menerimanya dan apabila menetapkan hukum di antara mansuia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Sabda Rasulullah SAW
Artinya :
“Dari Abu Hurairah dari ayahnya dari Rasulullah SAW, mengabarkan bahwa Rasulullah bersabda, “Qadhi-qadhi (hakim-hakim) itu ada dua golongan, satu golongan di surga dan satu golongan di neraka. Adapun qadhi yang ada di surga ialah qadhi yang mengetahui kebenaran lalu dia memberikan keputusan berdasarkan kebenaran. Adapun qadhi yang mengetahui kebenaran lalu dia curang dalam mengambil keputusan dia ditempatkan di neraka. Dan seorang qadhi yang member keputusan berdasarkan kebodohan, dia juga ditempatkan di neraka.” (HR. Abu Dawud)
C. Tujuan Hukuman
Esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut Islam adalah pertama, pencegahan serta balasan (ar radu waz zahru) dan kedua, adalah perbaikan dan pengajaran (al-ishlah wat tahdzib). Dengan tujuan tersbut, pelaku jarimah diharapkan tidak mengulangi perbuatan jeleknya. Di samping itu, juga merupakan tindakan preventif bagi orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama.
Seperti telah dijelaskan pada bagian lain bahwa perbuatan tindak pidan atau jarimah itu, mengandung dua pengertian. Pengertian pertama, adalah si pelaku melakukan pelanggaran terhadap suatu perbuatan yang dilarang, maka pencegahan pada bentuk seperti ini adalah mencegahnya untuk melakukan perbuatan yang dilarang tersebut. Pegnertian kedua, si pelaku tidak mengerjakan perbuatan yang diperintahkan atau si pelaku meninggalkan suatu kewajiban. Pemberian hukuman pada jenis ini ditujukan agar si pelaku menghentikan ketakacuhannya terhadap kewajiban. Dengan adanya sanksi yang dijatuhkan, si pelaku di tergerak untuk melaksanakan kewajiban tersebut.
Di samping itu, jarimah juga bertujuan untuk mengusahakan kebaikan serta pengajaran bagi pealku jarimah. Dengan tujuan ini, pelaku jarimah diarahkan dan dididik untuk melakukan perbuatan baik serta meninggalkan perbuatan jahat. Pada awalnya si pelaku jarimah merasakannya sebagai pemaksaan terhadap dirinya untuk melakukan sesuatu yang tidak disenanginya, namun pada tahap berikutnya timbul kesadaran bahwa perbuatan tersebut memang harus dia kerjakan atau harus dia tinggalkan bukan karena ancaman hukumn. Pada tahap ini, pelaku suatu tindak pidana sebagai sesuatu yang tidak dia sukai, sesuatu yang menurut agamanya terlarang. Penghentiannya terhadap suatu perbuatan pidana tidak hanya karena ketakutan terhadap sanksi duniawi, namun kesadaran dirinya bahwa kelak dia aakn mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Yang Maha Kuasa, meskipun di dunia ini dia sempat lolos dari jangkauan kekauasaan.
Dalam aplikasinya, hukuman dapat dijabarkan menjadi beberapa tujuan, sebagai berikut :
Pertama, untuk memelihara masyarakat. Dalam kaitan ini pentingnya hukuman bagi pelaku jarimah sebagai upaya menyelamatkan masyarakat dari perbuatannya. Pelaku sendiri sebenarnya bagian dari masyarakat, tetapi demi kebaikan masyarakat yang banyak, maka kepentingan perseorangan dapat dikorbankan. Kalau tidak demikian, kepentingan yang lebih banyak, yaitu masyarakat, akan terancam oleh perbuatan perseorangan tersebut. Kejahatan itu sendiri merupakan penyakit yang ada pada anggota masyarakat, maka untuk mengobati penyakit itu dan menjauhkannya dari masyarakat. Dengan demikian, hukuman itu pada hakikatnya adalah obat untuk menyembuhkan penyakit yang diderita si pelaku kejahatan agar masyarakat terhindar dari penyebarannya. Walaupun pada kenyataannya hukuman itu merupakan penderitaan bagi yang berbuat kejahatan, ketiadaan hukuman bagi pelaku kejahatan menyebabkan penderitaan tersebut berpindah pada orang yang lebih banyak. Dalam ketentuan umum (kaidah), kepentingan yang lebih banyak harus didahulukan daripada kepentingan perseorangan:
“Kemaslahatan umum didahulukan dari kemaslahatan khusus.”
Oleh karena itulah, hukum mengorbankan kesenangan perseorangan untuk menciptakan kesenangan orang banyak. Dalam hukum positif disebut dengan prevensi umum, yaitu pencegahan yang ditujukan pada khalayak ramai (kepada semua orang), agar tidak melakukan pelanggaran terhadap kepentingan umum. Tujuan ini dimaksudkan agar pelaku menjadi jera dan takut. Oleh karena itu, pelaksanaannya dilakukan di hadapan umum agar berdampak sugestif bagi orang lain.
Kedua, sebagai upaya pencegahan atau prevensi khusu bagi pelaku. Apabila seseorang melakukan tindak pidana, dia akan menerima balasan yang sesuai dengan perbuatannya. Dengan balasan tersebut, pemberi hukuman berharap terjadinya dua hal. Pertama, pelaku diharapkan menjadi jera karena rasa sakit dan penderitaan lainnya, sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatan yang sama di masa dating. Kedua, orang lain tidak meniru perbuatan si pelaku sebab akibat yang sama juga kan dikenakan kepada pniru. Jadi, pada hakikatnya harapan yang kedua ini adalah upaya memblokade kejahtan sehingga kejahatan tersebut cukup hanya dilakukan oleh seorang saja dan tidak diikuti oleh yang lainnya. Kalau si pelaku tidak mengulangi perbuatannya atau tidak melakukan perbuatan jahat lainnya dan orang lain tidak meniru perbuatan pelaku karena akibat negative yang akan diterimanya, terciptalah ketenteraman dan kemaslahatan umum.
Ketiga, sebagai upaya pendidikan dan pengajaran (ta’dib dan tahdzib). Hukuman bagi pelaku pada dasarnya juga sebagai upaya mendidiknya agar menjadi orang baik dan anggota masyarakat yang baik pula. Dia diajarkan bahwa perbuatan yang dilakukannya telah menggangu hak orang lain, baik materil ataupun moril dan merupakan perkosaan atas hak orang lain. Di samping itu, mengingatkan pelaku tentang kewajiban yang seharusnya dia kerjakan (dalam hal pelaku brbuat jarimah pasif, tidak melakukan kewajiban).
Dari segi ini, pemberian hukuman tersebut adalah sebagai upaya mendidik pelaku jarimah mengetahui akan kewajiban dan hak orang lain. Seperti halnya upaya sebelumnya, uapay pendidikan dan pengajaran ini juga berlaku bagi orang lain, yaitu mengajarkan masyarakat akan hak dan kewajibannya.
Keempat, hukuman sebagai balasan atas perbuatan. Pelaku jarimah akan mendapat balasan atas perbuatan yang dilakukannya.
Jadi, itulah yang didefiniskan Abul Qadir Audah pada awal pembicaraan kita. Menjadi suatu kepantasan setiap perbuatan dibalas dengan perbuatan lain yang sepadan, baik dibalas dengan perbuatan baik dan jahat dibalas dengan kejahatan pula dan itu sesuatu yang adil. Al Qur’an memberikan keterangan:
Artinya :
“Barang siapa berbuat kebaikan walaupun sebiji sawi akan dibalas dengan kebaikan pula. Dan barang siapa yang membuat kejahtan walauopun sebiji sawi akan mendapatkan balasan berupa kejahatan pula.” (Q.S. Al Zalzalah : 7-8)
Q.S. Asy Syura : 40
Artinya:
“Balasan kejahtan itu adalah kejahatan yang semisalnya….” (Q.S. Asy Syura : 40)
Kalau tujuan-tujuan penjatuhan hukuman di ats tidak dapat tercapai, upaya terakhir dalam hukum positif adalah menyingkirkan penjahat. Artinya pelaku kejahatan tertentu yang sudah sangat sulit diperbaiki, dia hrus disingkirkan dengan pidana seumur hidup atau hukuman mati. Dalam hal ini hukum Islam juga berpendirian sama, yaitu kalau dengan cara ta’dib (pendidikan) tidak menerakan si pelaku jarimah dan malah menjadi sangat membahayakan masyarakat, hukuman ta’zir bias diberikan dalam bentuk hukuman mati atau penjara tidak terbatas.
Dari aplikasi tujuan-tujuan hukum, tujuan akhirnya atau tujuan pokoknya adalah menyadarkan semua anggota masyarakat untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jelek, mengetahui kewajiban dirinya, dan menghargai hak orang lain sehingga apa yan diperbuatnya di kemudian hari berdasrkan kesadaran tadi, tidak selalu dikaitkan dengan ancaman hukuman. Dalam ungkapan lain, perbuatan baiknya semata-mata karena kesadaran hukumnya yang meningkat, bukan karena takut hukum.
D. Macam-macam Hukuman
Mengenai macam-macam hukuman ini, Prof. H. A. Djazuli membaginya sebagai berikut :
Pertama, ditinjau dari segi terdapat dan tidak terdapatnya nash dalam Al Qur’an atau Al Hadis, hukuman dibagi menjadi dua,
yaitu :
1. Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qishash, diyat, dan kafarah. Misalnya, hukuman-hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak, pembunuh, dan orang yang menzihar istrinya (menyerupakan istrinya dengan ibunya).
2. Hukuman yang tidak ada nashnya, hukuman ini disebut dengan hukuman ta’zir, seperti percobaan melakukan jarimah, jarimah-jarimah hudud dan qishsh/diyat yang tidak selesai, dan jarimah-jarimah ta’zir itu sendiri.
Kedua, ditinjau dari sudut kaitan antara hukuman yang satu dengan hukuman lainnya, terbagi menjadi empat:
1. Hukuman Pokok (al uqubat al ashliyyah), yaitu hukuman utama bagi suatu kejahatan, seperti hukuman mati bagi pembunuh yang membunuh dengan sengaja, hukuman diyat bagi pelaku pembunuhan tidak sengaja, dera (jilid) seratus kali bagi pezina ghair muhsan,
2. Hukuman pengganti (al uqubat al badaliyyah), hukuman yang menggantikan kedudukan hukuman pokok (hukuman asli) yang karena suatu sebab tidak dapat dilaksanakan, seperti hukuman ta’zir dijatuhkan bagi pelaku karena jarimah had yang didakwakan mengandung unsur kesamaran atau syubhat atau hukuman diyat dijatuhkan bagi pembunuhan sengaja yang dimaafkan keluarga korban. Dalam hal ini hukuman ta’zir merupakan pengganti dari hukuman pokok yang tidak bias dijatuhkan, kemudian hukuman diyat sebagai pengganti dari hukuman qishash yang dimaafkan.
3. Hukuman tambahan (al uqubat al taba’iyyah), yaitu hukuman yang dikenakan mengiringi hukuman pokok. Seseorang pembunuh pewaris, tidak mendapat warisan dari harta si terbunuh.
4. Hukuman pelengkap (al uqubat al takhmiliyyah), yaitu hukuman untuk melengkapi hukuman pokok yang telah dijatuhkan, namun harus melalui keputusan tersendiri oleh hakim. Hukum pelengkap ini menjadi pemisah ari yang hukuman tambahan tidak memerlukan keputusan tersendiri seperti, pemecatan suatu jabatan bagi pegawai karena melakukan tindak kejahatan tertentu atau mengalungkan tangan yang telah dipotong di leher pencuri.
Ketiga, ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan bert ringannya hukuman, hukuman terbagi atas dua macam:
1. Hukuman yang mempunyai batas tertentu, artinya hukuman yang telahditentukan besar kecilnya. Dalam hal ini hakim tidak dapat menambah atau mengurangi hukuman tersebut atau menggantinya dengan hukuman alin. Ia hanya bertugas menerapkan hukuman yang telah ditentukan tadi seperti, hukuman yang termasuk ke dalam kelompok jarimah hudud dan qishash/diyat.
2. Hukuman yang merupakan alternative karena mempunyai batas tertinggi dan terendah. Hakim dapat memilih jenis hukuman yang dianggap mencerminkan keadilan bagi terdakwa. Kebebasan hakim ini, hanya ada pada hukuman-hukuman yang termasuk kelompok ta’zir. Umpamanya hakim dapat memilih apakah si terhukum akan dipenjarakan atau didera (jilid), mengenai penjara pun hakim dapat memilih, berapa lama dia dipenjarakan.
Keempat, ditinjau dari segi objek yang dilakukannya hukuman, terbagi dalam :
1. Hukuman badan, yaitu hukuman yang dikenakan terhadap anggota badan manusia seperti hukuman potong tangand an dera.
2. Hukuman yang dikenakan terhadap jiwa, seperti hukuman mati, Ahmad Hanafi memasukkan hukuman mati dalam hukuman badan, sedangkan H. A. Djazuli memasukkannya ke dalam hukuman terhadap jiwa, bukan badan atau nyawanya, tetapi hukuman yang bersifat psikologis, seperti ancaman, peringatan, atau teguran.
3. Hukuman yang dikenakan terhadap hilangnya kebebasan manusia atau hilangnya kemerdekaan, seperti pengasingan atau penjara. Ahmad Hanafi memasukkan hukuman penjara dalam hukuman dengan objek badan, sedangkan H. A. Djazuli, memasukkannya dalam bagian tersendiri.
4. Hukuman terhadap harta benda si pelaku jarimah, seperti perampasan (penyitaan), diyat, dan denda. Semoga tulisan ini dapat membantu.
Post a Comment for "Hukuman dalam Islam"
Berikan Saran beserta komentar.