Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kealpaan dan Perbedaan KUHP Thailand dengan KUHP Indonesia

 

A. Pengertian Kealpaan
        Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Alasan mengapa culpa menjadi salah satu unsur kesalahan adalah bilamana suatu keadaan, yang sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi.
        Jadi, suatu tindak pidana diliputi kealpaan, manakala adanya perbuatan yang dilakukan karena kurang penduga-duga atau kurang penghati-hati. Misalnya, mengendari mobil ngebut, sehingga menabrak orang dan menyebakan orang yang ditabrak tersebut mati.


B. Bentuk-bentuk Kealpaan

• Kealpaan yang Disadari dan Tidak Disadari

Kealpaan yang disadari: bila seseorang melakukan perbuatan yang sudah dapat dibayangkan akibatnya sadar akibat buruk akan terjadi, tapi tetap melakukannya.

Kealpaan yang tidak disadari: bila pelaku tidak dapat membayangkan sama sekali akibat dari perbuatannya yang seharusnya dibayangkannya.


C, Perbedaan Kealpaan KUHP Thailand dan KUHP Indonesia

Bunyi Pasal 59 paragraf 4 KUHP Thailand mengenai pengertian kealpaan :
“Melakukan tindak pidana tidak dengan sengaja tetapi melakukan penghati-hati sebagaimana seharusnya diharapkan ( dapat dilakukan ) dari orang yang berada dalam kondisi dan keadaan serupa itu, sedangkan si pelaku dapat melakukan penghati-hati seperti itu tetapi ia tidak berbuat sedemikian secukupnya”
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), kelalaian biasanya disebut juga dengan kesalahan, kurang hati-hati, atau kealpaan. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan R. Soesilo mengenai Pasal 359 KUHP, dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, yang mengatakan bahwa “karena salahnya” sama dengan kurang hati-hati, lalai lupa, amat kurang perhatian.
Mengenai ukuran kelalaian dalam hukum pidana, Jan Remmelink (Ibid, hal. 179) mengatakan bahwa menurut MvA (memori jawaban) dari pemerintah, yang menjadi tolak ukur bagi pembuat undang-undang bukanlah diligentissimus pater familias (kehati-hatian tertinggi kepala keluarga), melainkan warga pada umumnya. Syarat untuk penjatuhan pidana adalah sekedar kecerobohan serius yang cukup, ketidakhati-hatian besar yang cukup; bukan culpa levis (kelalaian ringan), melainkan culpa lata(kelalaian yang kentara/besar).
Jadi, pada dasarnya yang dijadikan tolak ukur adalah ukuran kehati-hatian yang ada di masyarakat, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa hakim juga berperan serta dalam menentukan hal tersebut.








Post a Comment for "Kealpaan dan Perbedaan KUHP Thailand dengan KUHP Indonesia"