Memaknai Tempat Terbuka Pelaksanaan Hukuman Cambuk di Aceh
![]() |
Memaknai Tempat Terbuka Pelaksanaan Hukuman Cambuk |
Memaknai Tempat Terbuka Pelaksanaan Hukuman Cambuk
Pelaksaan hukuman sebagai
pertanggung jawaban pidana yang telah dilakukan di Aceh dengan dasar
pelaksanaan syariat islam sebagai wilayah otonomi khusus menjadi perbincangan
yang menimbulkan pro kontra, terutama pada permasalahan tempat terbuka pada
pelaksanaan hukuman cambuk. Hukuman cambuk merupakan salah satu jenis hukuman
yang telah ditentukan dalam nash yakni terdapat pada Quran Surat An-nur ayat 2
dan ayat 4tentang hukuman bagi pelaku zina dan qazhaf.
Ketentuan hukuman cambuk dan pelaksanaannya disebut dalam Al-quran
surat An-nur ayat 2 dan 4 untuk tindak pidana zina, dan dalam beberapa hadist
untuk pidana khamar ( minuman keras ) dan ta‘zir. Jumlah sebatan yang disebut
untuk zina adalah 100 kali. sedangkan terhadap pidana qadzaf ( menuduh orang
lain berzina ) adalah 80 kali. untuk hukuman terhadap pemabuk berdasarkan
beberapa hadist ialah 40 kali. Namun Pada masa Umar, hukuman 40 kali ini justru
ditambah menjadi 80 kali. Rupanya Umar melihat bahwa cambuk 40 kali itu tidak
mempan lagi dan beliau bermusyawarah dengan para sahabat seperti Ali dan mereka
sepakat menetapkan cambuk 80 kali bagi peminum khamar.
Rasulullah Saw bersabda, siapa yang minum khamar maka pukullah.
Hadis ini termasuk jajaran hadis mutawatir. Di tingkat sahabat, hadits ini
diriwayatkan oleh 12 orang sahabat yang berbeda. Mereka adalah Abu Hurairah,
Muawiyah, Ibnu Umar, Qubaishah bin Zuaib, Jabir, As-Syarid bin suwaid, Abu Said
Al-Khudhri, Abdullah bin Amru, Jarir bin Abdillah, Ibnu Mas`ud, Syarhabil bin
Aus dan Ghatif ibn Harits. Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam
menentukan jumlah pukulan. Jumhur Ulama sepakat bahwa peminum khamar yang
memenuhi syarat untuk dihukum, maka bentuk hukumannya adalah dicambuk sebanyak
80 kali. Pendapat mereka didasarkan kepada perkataan Sayyidina Ali ra., Bila
seseorang minum khamar maka akan mabuk. Bila mabuk maka meracau. Bila meracau
maka tidak ingat. Dan hukumannya adalah 80 kali cambuk.
Di zaman Rasulullah juga ada berlakunya zina dan berikut adalah
antara kisah-kisahnya yang dapat dilihat bagaimana pelaksanaan cambuk ketika
seseorang melakukan jarimah zina. Pada permasalaha kali ini penekanannya yaitu
pada tempat pelaksanaannya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan: “Seseorang
mendatangi Rasulullah yang ketika itu sedang berada di masjid. Dia menyeru
beliau dan berkata: “Aku telah berzina.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
memalingkan mukanya, namun orang itu mendatangi dari arah mukanya yang lain dan
berujar: “Ya Rasulullah, aku telah berzina!” Nabi tetap berpaling, namun orang
itu datang lagi dari sebelah muka beliau yang sebelumnya dipalingkan. Setelah
dia bersaksi empat kali atas dirinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
memanggilnya dan bertanya: “Apakah kamu mengalami sakit gila?” “Tidak”,
jawabnya. “Kamu sudah menikah?” tanya Nabi. “Ya”, jawabnya. Maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pergilah kalian bersama orang ini, dan
rejamlah dia!” Jabir bin Abdullah berkata: “Aku di antara yang merejamnya, kami
merejamnya di tanah lapang. Setelah dia terkena lemparan batu, dia melarikan
diri, maka kami menangkapnya di Harrah dan kami tetap merejamnya.”(Sahih
Bukhari, no. 6317, no. 6321, no. 6325)
Dari Abu Hurairah dan Zaid bin Khalid Al Juhaniy radhiallahu
‘anhuma bahawa keduanya berkata: “Ada seorang warga Arab datang kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata: “Wahai Rasulullah, aku
bersumpah atas nama Allah kepadamu, bahawa engkau tidak memutuskan perkara di
antara kami melainkan dengan Kitab Allah. Lalu lawannya yang tutur katanya
lebih baik daripadanya berkata: “Dia benar, putuskan perkara di antara kami
dengan Kitab Allah dan perkenankanlah untukku”. Maka Rasululloh shallallahu
‘alaihi wasallam besabda: “Katakan”. Maka warga Arab itu berkata: “Sesunguhnya
anakku adalah buruh yang bekerja pada orang ini lalu dia berzina dengan
isterinya maka aku diberitahu bahawa anakku harus direjam. Kemudian aku tebus
anakku dengan seratus ekor kambing dan seorang hamba wanita kemudian aku
bertanya kepada ahli ilmu lalu mereka memberitahu aku bahawa atas anakku cukup dicambuk
(dirotan) seratus kali dan diasingkan selama setahun sedangkan untuk isteri
orang ini direjam.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku akan putuskan buat
kalian berdua dengan menggunakan Kitab Allah. Ada pun seorang hamba wanita dan
kambing seharusnya dikembalikan dan untuk anakmu dikenakan hukum cambuk (rotan)
sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun. Ada pun kamu wahai Unais
(panggilan bagi Anas bin Malik), esok pagi datangilah isteri orang ini. Jika
dia mengaku maka rejamlah dia.” Kemudian Unais mendatangi wanita itu dan dia
mengakuinya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar
wanita itu direjam.”(Sahih Bukhari, no. 2523, no. 6143, no. 6332)
Ketentuan yang terdapat pada hadis inilah yang kemudian digunakan
sebgai salah satu rujukan pada pelaksanaan hukuman cambuk. Ketentuan islam-lah
yang mangatur tentang cambuk dan terdapatnya pangasingan. Dari hadis ini bisa
juga dilihat bahwa ketentuan-ketentuan yang terdahulu tidaklah berlaku lagi
pada islam. Aceh sebagai daerah yang telah menerapkan syariat islam tentu
proses pelaksanaan hukuman cambuk perlu ditelaah lebih lanjut. Ketentuan tempat
terbuka dan dilihat oleh orang banyak pun perlu pemahaman yang lebih mendalam.
Polemik inilah yang sekarang mulai mencuat, untuk itu perlu dilihat terlebih
dahulu bagaimana penerapan syariat islam di Aceh saat ini khususnya pada
prosudur pelaksanaan hukuman cambuk.
Hukuman cambuk di Aceh dilakukan setalah adanya keputusan Mahkamah
Syar’iyah yang mempunyai ketentuan hukum tetap. Pada waktu eksekusi dilakukan
jaksa penuntun umum akan mengirim surat panggilan kepda pelaku untuk hadir pada
waktu dan tempat yang ditentukan. Tempat dan waktu pencambukan ditentukan oleh jaksa
dan berkoordinasi dengan ketua Mahkamah Syar’iyah untuk menyiapkan hakim
pengawas yang harus hadir pada waktu pelaksanaan hukuman cambuk. Kepala Dinas
kesehatan untuk menyiapkan dokter yang akan memeriksa kesehatan terhukum
sebelum dan seseudah pelaksanaan pencambukan dan mengirim nama dokter yang
ditunuk pada jaksa sebelum waktu pemeriksaan dan instansi yang membawahi
Wilayatul Hisbah untuk menyiapkan pencambuk dan memberitahukan pada jaksa
tentang kesiapan pencambuk sebelum pencambukan dilakukan.
Hukuman cambuk mempunyai fungsi sebagai kontrol sosial dalam
masyarakat, dan mencagah terjadinya jarimah yang dilakukan oleh masyarakat .
menjamin keamanan dan kenyamanan merupakan tujuan pertama dari syari’at dan ini
merupakan hal penting sehingga tidak dapat dipisahkan. Apabila kebutuhan
kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidak tertiban
dimana-mana. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Sebagai sistem hukum, hukum Islam tidak dapat disamakan dengan sistem hukum
lain yang pada umumnya terbentuk dari kebiasaan masyarakat dan hasil pemikiran
manusia serta budaya manusia.
Esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut
Islam adalah pertama, pencegahan serta pembalasan (al-radd wa al-zajr). Dan
kedua, adalah perbaikan dan pengajaran (al-iṣlāh wa al-taḥżĭb).
·
Pencegahan
serta Pembalasan (ar-radd wa al-zajr)
Pengertian pencegahan ialah menahan orang yang berbuat jarimah agar
ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus-menerus
melakukan jarimah tersebut.
·
Perbaikan
dan Pengajaran (al-iṣlāh wa al-taḥżĭb)
Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku
jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Di sini
terlihat bagaimana perhatian syariat Islam terhadap diri pelaku. Dengan adanya
hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia
menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran
diri dan kebenciannya terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat ridha dari
Allah Swt.
Rumusan hukuman cambuk yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun
2014 merupakan hasil ijtihad dan telah menjadi hukum positif nasional, sehingga
dalam penegakannya memerlukan kekuasaan negara melalui aparat penegak hukum yaitu
kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Syar’iyah dan advocad serta lembaga lain
terkait.1 Dan tata cara pelaksanaan hukuman cambuk diatur dalam Qanun Hukum
Acara Jinayat sebagaimana di dalamnya terdapat ketentuan bahwa pada saat
pelaksanaan eksekusi cambuk tidak boleh dihadiri dan disaksikan oleh anak-anak
di bawah umur 18 tahun. Ketentuan tersebut terdapat di dalam Pasal 262 ayat (2)
Qanun Hukum Acara Jinayat.
Permasalahan tempat umum sekrang menjadi suatu polemik. Terlepas
bahwa ada beberapa anggapan isu tersebut erat kaitannya dengan ketegangan
politik yang sedang berlangsung di Aceh. Sebagai mahasiswa yang tentu dituntut
untuk selalu kritis, dalam hal ini penulis tidak melihat pada permasalahan
politik. Akan tetapi, bagaimana sebenarnya pemaknaan tempat terbuka yaitu
masjid pada pelaksanaan hukuman cambuk.
Tata cara penghukuman (pelaksanaan hukuman cambuk) yang dilakukan
di tempat terbuka yang bisa dilihat oleh orang banyak dan memungkinkan orang
banyak menonton termasuk keluarga dekat dan anak-anak, menjadi salah satu aspek
yang perlu dipertimbangkan. Mengingat anak-anak di bawah umur 18 (delapan
belas) tahun yang menyaksikan eksekusi cambuk dikhawatirkan akan terganggu
psikologinya.
Adapun yang lebih bertanggung jawab atas pengawasan terhadap
pelaksanaan „uqũbah cambuk adalah Hakim Pengawas. Disebutkan di dalam Pasal 272
ayat 1 Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2013 bahwa Hakim Pengawas wajib memperingati
Jaksa untuk menunda pelaksanaaan hukuman cambuk, apabila ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 262 tidak terpenuhi.54 Pengawalan terhukum dan pengamanan
pelaksanaan „uqũbah cambuk dilakukan Wilayatul Hisbah Kabupaten/Kota setempat
atas permintaan Jaksa.
Pentingnya pengawasan untuk mencegah kehadiran anak-anak pada
proses pencambukan karena hadirnya anak-anak di bawah umur 18 (delapan belas)
tahun menyaksikan pelaksanaan „uqũbah cambuk dapat mendatangkan kemafsadatan
yaitu terganggu psikologi perkembangan anak. Adapun kemashlahatan dari
pelaksanaan cambuk di depan umum adalah bisa dijadikan pendidikan dan pengajaran
agar jangan pernah melakukan perbuatan terlarang yang dihukum cambuk karena
efek malu dan jera dari hukuman cambuk tersebut. Tetapi pada anak di bawah umur
justru dapat menimbulkan efek mudharat yang lain. Merujuk kaidah fiqhiyyah,
menolak mudharat harus didahulukan yaitu:
دَرْءُ المفا سد اولى من جَلْبِ المَصا لح
Artinya:
Menghilangkan mafsadat itu lebih didahulukan daripada mewujudkan sebuah
maslahat.
Apabila bertemu antara maslahat dan mafsadat, kebaikan dan
kejelekan, maka wajib menimbang yang paling kuat di antara keduanya. Apabila
maslahat dan mafsadat seimbang, maka secara umum saat itu menolak mafsadat
lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan yang ada. Maka dari perspektif
tarjih maslahat, pencegahan ikutsertaan anak-anak di bawah umur yang
menyaksikan uqubah cambuk harus didahulukan.
Tujuan syariat Islam melaksanakan hukuman cambuk yaitu sebagai
sarana untuk menciptakan keadilan dan dilaksanakan di depan umum bertujuan
untuk memberikan efek jera dan malu kepada si pelaku jarimah serta kepada
masyarakat yang menyaksikan untuk dijadikan pembelajaran agar jangan pernah
melakukan perbuatan jarimah.
Adapun
dalil yang memerintahkan pelaksanaan uqubah cambuk di depan umum adalah :
Artinya:
dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman (Q.S an-Nur : 2 )
Pada permaslahan ini penulis melihat keberadaan anak-anak pada
pelaksanaan hukuman cambuk di tempat terbuka. Alasan mengapa anak-anak di bawah
umur 18 (delapan belas) tahun dilarang hadir dan menyaksikan secara langsung
eksekusi pidana cambuk.
·
Pemeliharaan
Tujuan Syarak
Secara kebahasaan, kata maqāṣid merupakan bentuk jamak dari kata
maqṣid yang berarti tempat tujuan. Kata maqṣid berasal dari kata qaṣd (qaṣada
yaqṣidu, qaṣd, fahuwa qāṣid). Berdasarkan makna kebahasaan ini, dapat dipahami
bahwa kata maqṣid berarti arah, atau tujuan akhir yang dibutuhkan untuk bisa
tetap di jalan yang ditempuh, ia juga berarti adil dan sikap pertengahan. Selanjutnya
makna keabsahan ini tidak lepas dalam penggunaannya sebagai istilah khusus di
kalangan uṣũliyyũn, yaitu sesuatu yang dituju dibalik perbuatan.
Secara global, tujuan syarak dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah
untuk kemaslahatan manusia seluruhnya, baik kemaslahatan dunia yang fana ini,
maupun kemaslahatan di hari yang baqa (kekal). Kemaslahatan dunia dikatagorikan
menjadi dua, baik yang pencapaiannya dengan cara mewujudkan kemanfaatan atau
dengan cara menolak kemudaratan.
·
Kemaslahatan
darũriyyah (inti/pokok)
kemaslahatan maqāsid syarĭah yang berada dalam urutan paling atas.
Ialah kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila
tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia
baik di dunia maupun di akhirat.
·
Kemaslahatan
ghayr dharũriyyah (bukan kemaslahatan pokok) ; namun kemaslahatan ini tergolong
penting dan tidak bisa dipisahkan.
Kemaslahatn inti/pokok yang disepakati dalam semua syariat tercakup
dalam lima hal, seperti yang dihitung dan disebut oleh para ulama dengan nama
al-kulliyyat al-khams (lima hal inti/pokok) yang mereka anggap sebagai
dasar-dasar dan tujuan umum syariat yang harus dijaga yaitu memelihara agama,
menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga harta, menjaga keturunan.
Keberhasilan syariat bukan hanya diukur dari berapa banyak jumlah
pelanggar yang dicambuk, berapa qanun yang sudah dihasilkan, atau masih ada
atau tidakkah pelanggaran. Tetapi keberhasilan syariat yang paling penting
adalah kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan hal aneh-aneh yang berbau
kriminalitas. Kesadaran masyarakat merupakan bentuk kepatuhan masyarakat
terhadap aturan qanun yang mareka aplikasikan kedalam pola kehidupan, pergaulan
dan tingkah laku mareka sehari-hari.
Post a Comment for "Memaknai Tempat Terbuka Pelaksanaan Hukuman Cambuk di Aceh"
Berikan Saran beserta komentar.