Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HUBUNGAN JARIMAH DENGAN LARANGAN SYARA


HUBUNGAN JARIMAH DENGAN LARANGAN SYARA

Suatu perbuatan dinamai jarimah (tindak pidana, peristiwa pidana atau delik) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat baik jasad (anggota badan atau jiwa), harta benda, keamanan, tata aturan masyarakat, nama baik, perasaan ataupun hal-hal lain yang harus dipelihara dan dijunjung tinggi keberadaannya.
Jadi, yang menyebabkan suatu perbuatan tersebut dianggap sebagai suaatu jarimah adalah dampak dari perilaku tersebut yang menyebabkan kerugian kepada pihak lain, baik dalam bentuk material (jasad, nyawa atau harta benda) maupun nonmateri atau gangguan nonfisik, seperti ketenangan, ketenteraman, harga diri, adapt istiadat, dan sebagainya.

Penyebab perbuatan yang merugikan tersebut diantaranya adalah tabiat manusia yang cenderung pada sesuatu yang menguntungkan bagi dirinya walaupun hasil pilihan atau perbuatan tersebut merugikan orang lain. Kenyataan itu memerlukan kehadiran peraturan atau undang-undang.
Akan tetapi, kehadiran peraturan tersebut menjadi tidak berarti tanpa adanya dukungan yang dapat memaksa seseorang untuk mematuhi peraturan tersebut. Dukungan yang dimaksud adalah penyertaan ancaman hukuman atau sanksi yang menyertai kehadiran peraturan tersebut.
Sanksi sangat diperlukan untuk mendukung  peraturan  yang dikenakan kepada perbuatan tindak pidana, dengan harapan yang bersangkutan tidak mengulangi perbuatan tersebut. Di samping itu, agar perbuatan yang sama tidak ditiru orang lain. Dengan demikian terpeliharalah kepentingan umum.

Tanpa dukungan sanksi yang menyertai larangan atau pirintah, kita tidak dapat berharap banyak akan terciptanya kemaslahatan umum yang kita dambakan. Dalam upaya menciptakan ketertiban, keamanan, kenyamanan, kehidupan dalam bermasyarakat, kita tidak bias hanya mengandalkan keimanan, niat baik, kejujuran, dan sebagainya dari anggota masyarakat. Tanpa iming-iming ancaman sanksi hukum,  pelanggaran selamanya akan menjadi preseden buruk di kemudian hari. Pelaku kejahatan akan bercermin kepada pelaku kejahatan yang sama yang lolos dari sanksi. 
Bahkan kalau kita kembalikan kepada kecenderungan sifat manusia tadi yang selalu memilih yang menguntungkan dirinya, ketiadaan sanksi yang jelas dapat mengundang seseorang untuk mencoba-coba melanggar aturan tadi. Akhirnya, terjadi anarki dan kemaslahatan umum pun hanya merupakan fatamorgana yang tak mungkin singgah dalam kenyataan.

Tanpa menutup mata dari realitas yang ada dalam kehidupan kita, dapat kita lihat banyak di antara mereka yang berhati luhur dan berakhlak mulia. Mereka berbuat kebaikan tidak meninggalkan kewajiban, bukan karena ketakutan mereka terhadap ancaman sanksi, melainkan berdasarkan keimanan, ketakwaan, dan niat baik mereka. Namun jumlah mereka walaupun tidak teredapat data yang akurat, populasinya sangat sedikit.
Di sekeliling mereka dengan populasi yang jauh lebih besar bertebaran secara spradis orang-orang yang hanya mau tunduk karena ancaman sanksi dan takut hukum. Bahkan, mereka yang berbuat baik karena keimanan, niat baik atau berakhlak baik pun sangat rentan terhadap perubahan niat, kondisi, dan situasi. Hal itu menuntut adanya tindakan antisipatif atau pagar pengaman agar mereka tidak keluar dari koridor yang baik.

Oleh karena itu, larangan tanpa ancaman sanksi, sangat tidak efektif, tidak realitas, dan hampir tidak mungkin.
Hukuman, ancaman, sanksi memang bukan merupakan sesuatu yang maslahat (baik), bahkan sebaiknya hukuman itu akan berakibat buruk, menyakitkan, menyengsarakan, membelenggu kebebasan bagi pembuat kejahatan. Namun, bila dibandingkan dengan kepentingan orang banyak, kehadiran peraturan beserta sanksi hukumnya sangat diperlukan. Jadi, apalah arti penderitaan segelintir pelaku jarimah kalau obsesi kemaslahatan umum yang kita dambakan. Oleh karena itu, walaupun harus mengorbankan segelintir orang si pembuat jarimah sanksi hukum sangat diperlukan, demi kepentingan yang bersifat lebih besar dan lebih banyak.

Berbuat jarimah itu memang menguntungkan si pelaku dan ini memang sesuai dengan kecenderungan manusia untuk memilih yang erbaik bagi dirinya, dan menguntungkan dirinya mencuri, menipu, atau berzina, tidak menunaikan kewajiban zakat bisa jadi membawa keuntungan bagi pelaku pidana atu jarimah baik yang bersifat materi atau non materi. Akan tetapi, semua itu sama sekali bukanlah yang mendasri pertimbangan syarat melarang perbuatan tersebut. Artinya, bukan keuntungan perseorangan yang menjadi bahan pertimbangan bahwa mencuri, berzina, tidak mengeluarkan zakat itu dilarang. Syara tidak melarang mereka mencari, mengumpulkan, serta menggunakan harta tersebut, juga tidak melarang seseorang bersenang-senang dengan wanita.
Akan tetapi, perilaku mereka itu berdampak merugikan masyarakat banyak, merusak tatanan, dan melanggar kesusilaan. Namun bila dilakukan melalui prosedur yang sah, semau itu sangat dianjurkan.
Jadi, dasar pertimbangan suatu perbuatan dianggap sebagai jarimah atau tindak pidana, bukanlah karena keuntungan yang sifatnya individual, tetapi adanya konotasi larangan tersebut, yaitu merugikan kepentingan social. Jadi, kesimpulan diadakannya peraturan, baik perintah maupun larangan sudah tentu berikut sanksi-sanksinya semata-mata bagi kepentingan orang banyak, bukan kepentingan orang per orang.

Dalam hal ini Allah SWT, sebagai pembuat syari’at, pembuat peraturan, sama sekali tidak menerima keuntungan andaikata seluruh isi alam ini menaati seluruh peraturannya. Sebaliknya, kedurhakaan seisi alam ini pun tidak akan merugikan Allah SWT.

Esensi untuk menerapkan hukuman bagi pelaku tindak pidana atqau jarimah, antara hukum islam dan hukum positif, bertemu dalam suatu pendirian, dalam suatu tujuan yaitu, terpeliharanya kepentingan masyarakat, ketenteraman hidup, dan kelangsungan hidup masyarakat. Meskipun ada kesamaan persepsi dalam hal tujuan tersebut, hukum Islam dalam menetapkan suatu jarimah, tidak bergntung pada ada tidaknya kerugian dari hasil perbuatan jarimah tadi. Seperti kita ketahui, tujuan dari kehadiran agama Islam adalah penyempurnaan akhlak umatnya. Oleh karena itu, segala perilaku akan dihadakan pada moral tersebut, tak terkecuali halnya dengan jarimah. Jadi, suatu perbuatan itu dinamai jarimah atau bukan bergantung pada sifatnya yaitu apakah perbuatan tersebut bertentangan dengan moral atau tidak. Kalau perbuatan tersebut nyata-nyata bertentangan dengan moral, dengan mengabaikan ada yang rugi atau tidak, perbuatan tersebut dianggap sebagai jarimah.

Tolak ukur suatu jarimah (tindak pidana) dari moral atau akhlak tersebut, tidak berarti meniadakan unsur kerugian. Lagi pula jarimah-jarimah tertentu, terutama yang menyangkut kesusilaan, unsur kerugiannya relative sulit dibuktikan. Jadi, penetapan suatu jarimah yang menyangkut kesusilaan akan terlepas dari jangkauan hukum. Di sampig itu, pada dasarnya kerugian yang diderita oleh korban baik perseorangan maupun masyarakat buruk (jarimah, tindak pidana) yang merugikan orang lain itu bermuara dari buruknya akhlak pelaku jarimah.
Hal ini adalah suatu perbedaan yang prinsipnya, suatu nilai lebih dari hukum Islam disbanding dengan hukum positif, di samping kesamaan yang telah kita ketahui. Sesuai dengan misi awalnya, hukum Islam sangat menjungjung tinggi akhlak. Sebaiknya pihak hukum positif nyaris melupakannya.

Hukum Islam menganggap suatu perbuatan itu bertentangan dengan akhlak atau tidak, kalau ya, maka ada tidaknya kerugian, tetap dianggap sebagai jarimah.
Hukum positif tidaklah demikian. Sesuatu perbuatan itu digolongkan tindak pidana atau bukan bergantung pada ada tidaknya kerugian atau yang merasa dirugikan. Oleh karena itu, berangkat dari untung rugi, pelanggaran terhadap kesusilaan dan kejahatan moral tidak dianggap sebagai tindak pidana dan merupakan sesuatu yang masuk akal. Ini karena hukum positif merupakan produk Barat, dan kita mahfum Barat memang longgar terhadap moral maka hukumnya pun menganaktirikan akhlak.

Sebagai ilustrasi, dapat saya kemukakan sebuah contoh yang berasal ari Barat. Dalam sebuah rubric yang dimuat surat kabar Pikiran Rakyat, kira-kira belasan tahun yang lampau disebutkan dalam sebuah perjalanan di sebuah kereta api subway (bawah tanah), dua orang remaja melakukan perbuatan yang  menurut etika Islam, bukan saja tidak pantas dilakukan di tempat umum ataupun secara sembunyi, bahkan dianggap perbuatan bejat. Mereka bercumbuan dengan asyik masyuknya di atas bangku kereta dengan leluasa, seolah-olah tidak seorang pun melihat mereka. Tentu saja perbuatan tersebut mengundang perhatian penumpang lainnya, termasuk mereka yang  lalu lalang mencari tempat duduk. 

Akibatnya, terjadi antrian panjang di bagian tengah kereta api. Beberapa lama kemudian petugas mengetahui penyebabnya, maka di tempat pemberhentian (stasiun) berkutnya, kedua remaja itu digelandang petugas, namun tak lama kemudian keduanya dilepaskan kembali. Petugas itu hanya menganggap mereka mengganu lalu lintas di dalam kerta, tidak ada sanksi yang menyertqai pembebasan keduanya. Keputusan tersebut memang konstitusional (menurut versi mereka), sebab jangankan Cuma bercumbu di hadapan umum, zina sendiri bukan barang haram kalau dilakukan bukan dengan paksaan atau dilakukan dengan kesenangan kedu belah pihak.

Dalam kasus itu, bahkan kasus induknya sekalipun (zina atau prostitusi), sangat sulit dibuktikan adanya kerugian yang diderita pelaku. Siapa yang menjadi korban dari perbuatan itupun sama sulitnya untuk dibuktikan. Boleh jadi, keduanya untung alias tidak ada yang rugi. Jadi, kalau tidak ada yang merasa dirugikan, untuk apa lagi adanya sanksi. Paling-paling, yaitu tadi, mengganggu lalu lintas, kalau lalu lintas sudah normal atau tidak terganggu lagi, Cuma saja tidak disuruh, lakukanlah apa mau Anda.

Dalam hukum Islam contoh kasus di atas bukan dianggap sekadar mengganggu ketertiban. Perbuatan itu akan dianggap sebagai tindak pidana atau jarimah walaupun belum sampai ke dalam jarimah zina dan pasti akan dihukum. Malahan menurut kami, perbuatan tersebut dihukum sangat berat sebab dilakukan se ara demontratif, yang menandakan bahwa pelakunya bukan sekadar bercumbu, tetapi congkak terhadap ketentuan Allah. Apalagi kalau diniatkan untuk melawan ketentuan Allah, menghalalkan yang  haram, yang bisa dapat dianggap murtad dan hukumnya harus lebih berat lagi.

Mengapa harus dihukum padahal tidak ada yang merasakan kerugian dalam kasus seperti itu? Sebab Islam menjunjung tinggi akhlak dan setiap pelanggaran akhlak pasti akan dihukum, dengan mengabaikan ada yang rugi atau tidak. Perzinaan dan perbuatan ikutannya adalah pelanggaran akhlak sehingga pelakunya harus dihukum. Bahkan, seperti yang akan kita bahas annti-perzinaan dianggap sebagai perbuatan tindak pidana yang dikelompokkan dalam jenis jarimah yang berat hukumannya, bukan sekadar menggangu ketertiban. Kalau hanya dianggap hanya menggangu ketertiba, perzinaan akan dilakukan secara tertib, tidak menggangu, tersembunyi bahkan terorganisasi dengan baik. Dalam bentuk-bentuk seperti itu, unsur menggannggu ketertiban sama sekali tidak ada, melainkan hanya untuk menyenangkan pelaku dan menguntungkan pengelola.

Post a Comment for "HUBUNGAN JARIMAH DENGAN LARANGAN SYARA"