Makalah Hukum Adat
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Ada beberapa hal yang perlu pengkajian ulang dalam sistem
hukum indonesia. Misalnya saja dalam hal penyelesaian perkara yang
kadang-kadang tidak efektif bagi masayarakt sekitar. Selalu saja ada kendala
yang dihadapi oleh masyarakat. Mulai dari ketidaktahuan mareka terhadap hukum
positif juga karena rumitnya procedure dan banyaknya biaya yang dikeluarkan
oleh masyarakat itu sendiri. Sehingga tidak efektive dan fleksiblenya suatu
pelaksanaan hukum. Seperti yang ada di pemikiran masyarakat Aceh, yang banyak mengatakan
mengikuti proses hukum itu di ibaratkan seperti “gadoh kameng, peuteubit leumo”
yang artinya bahwa memproses hukum saat kambing dicuri, dalam prosesnya
mengelurkan biaya seperti membeli sapi.
Dengan berbagai alasan diatas telah membuat masyarakat
berpaling kepada hukum yang menjadi kebiasaan mareka dalam menyelesaikan
perkara mareka yakni hukum adat yang mareka kenal. Apalagi sekarang telah
adanya undang-undang yang mengatur tentang lembaga adat dan penyelesaian secara
adat. Kita warga Aceh perlu bersyukur
dengan di akuinya hukum adat di dalam struktur undang-undang dan pemerintahan.
Walaupun lembaga adat yang di akui tidak berperan penuh dalam suatu perkara.
Misalnya saja penyelesaian suatu perkara pidana, yang
kemungkinan besar tidak dapat diselesaikan secara adat. Karena tidak semuanya dapat
diselesaikan dengan cara hukum adat. Dan keterbatasan dari pada waktu
penyelesaian terhadap suatu perkara.
Di dalam makalah ini, kami mencoba membahas tentang
penyelesaian tindak pidana ringan berdasarkan Qanun No.9 tahun 2008.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana tata cara penyelesaian
tindak pidana ringan dalam adat aceh Qanun No.9 tahun 2008?
2. Siapa
saja perangkat dan struktur peradilan Adat?
3. Cara
pelaksanaan penyelesaian putusan peradilan Adat di Aceh serta sanksi yang
dikenakan?
C. Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas hukum adat yang berjudul “Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Berdasarkan Qanun NO.9 tahun 2008” dan kelompok kami akan mencoba membahas judul tersebut agar teman-teman dapat mengerti dan memiliki wawasan tentang pembahasan tersebut.
C. Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas hukum adat yang berjudul “Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Berdasarkan Qanun NO.9 tahun 2008” dan kelompok kami akan mencoba membahas judul tersebut agar teman-teman dapat mengerti dan memiliki wawasan tentang pembahasan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
· Pengertian Hukum Adat
Hukum adat sama dengan hukum lainnya
yang hidup dan berkembang didalam masyarakat. Hukum adat merupakan panutan dan
implementasi sikap atau watak (geist) dari praktek sehari-hari
dalam tatanan kehidupan masyarakat yang lebih bersifat etnis atau kelompok masyarakat dalam suatu negara. Sifat dan bentuknya bernuansa tradisional dan pada dasarnya tidak tertulis serta bersumber dari adat istiadat atau kebiasaan mareka sendiri.[1]
dalam tatanan kehidupan masyarakat yang lebih bersifat etnis atau kelompok masyarakat dalam suatu negara. Sifat dan bentuknya bernuansa tradisional dan pada dasarnya tidak tertulis serta bersumber dari adat istiadat atau kebiasaan mareka sendiri.[1]
Seperti halnya hukum adat yang berlaku di seluruh Indonesia khususnya aceh. Hukum tersebut berkembang di dalam tatanan kehidupan orang aceh, yang tentunya berbeda adat istiadatnya dengan hukum adat yang berada di wilayah Indonesia yang lain. Kita patut bergembira karena Hukum adat di aceh telah menampakkan perkembangan, walaupun prakteknya dalam kehidupan sehari-hari masih sangat tidak sesuai dengan yang diharapkan. Namun, Aceh telah mempunyai wewenang di dalam konstitusi.[2] Artinya hukum adat yang berlaku di Aceh telah mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Walaupun letak hukum adat aceh tidak setara dengan hukum positif, akan tetapi aceh di berikan kesempatan kepada aparatur hukum adat untuk menyelesaikan perkara dalam jangka waktu 1 bulan.[3]
Hukum adat merupakan alternative yang sangat efektive bagi masyarakat setempat terutama aceh. Ada tiga penyebab utama dipergunakannya cara non-ligitas dalam penyelesaian sengketa terutama Penyelesaiannya di luar pengadilan dengan cara perdamaian. Pertama,di Indonesia tata cara penyelesaian sengketa damai telah lama dan biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia.[4]
Hal ini dapat dilihat dari hukum adat yang menempatkan kepala adat sebagai penengah dan memberi putusan adat bagi sengketa di antara warga. Kedua, adanya ketidakpuasaan atas penyelesaian perkara melalui pengadilan, seperti mahalnya ongkos perkara, lamanya waktu dan rumitnya beracara, maka berbagai negara di dunia termasuk Indonesia mulai berpaling kepada penyelesaian perkara secara non ligitimasi di luar pengadilan. Ketiga, pada masyarakat Indonesia (Aceh) terdapat kecenderungan menyelesaikan sengketa dengan cara adat Sebagai sarana penyelesaian sengketa hukum nonligitasi sampai saat ini masih efektif, walaupun tidak sepenuhnya baik dalam aspek perdata maupun aspek pidana.
Di hukum adat Aceh dikenal Hadih Maja Adat Bak Peteu Meureuhom yang menjadi falsafah adat Aceh dan dalam penulisannya terdapat dua versi sebagai berikut:
1. Adat
bak Poteu Meureuhom, Hukum bak Syiah Kuala, Kanun bak Putroe Phang, Reusam bak
Laksamana, Hukum ngon Adat Lagee Zat ngon Sifeut[5]
2. Adat
bak Poteu Meureuhom, Hukum bak ulama, kanun bak putroe phang, Reusam bak
Bentara, Hukom ngon Adat lagee zat ngon sifeut.[6]
· Pengertian Tindak Pidana
Pengertian Tindak Pidana menurut istilah adalah terjemahan
paling umum untuk istilah "strafbaar feit" dalam bahasa Belanda
walaupun secara resmi tidak ada terjemahan resmi strafbaar feit.
· Pengertian Tindak Pidana
Pengertian Tindak Pidana menurut istilah adalah terjemahan
paling umum untuk istilah "strafbaar feit" dalam bahasa Belanda
walaupun secara resmi tidak ada terjemahan resmi strafbaar feit.
Menurut Simons Ialah suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang hukum pidana, bertentangan dengan hukum pidana dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.
Menurut E.Utrecht Dengan isilah peristiwa pidana yang sering juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan (handelen atau doen positif) atau suatu melalaikan (natalen- negatif), maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu).
Menurut Moeljatno meyatakan bahwa Pengertian Tindak Pidana berarti perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap siapa saja yg melanggar larangan tersebut. Perbuatan tersebut harus juga dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpukan bahwa Pengertian tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan manusia yang dapat bertanggung jawab yang mana perbuatan tersebut dilarang atau diperintahkan atau dibolehkan oleh undang-undang hukum pidana yang diberi sanksi berupa sanksi pidana. Untuk membedakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan tindak pidana ialah apakah perbuatan tersebut diberi sanksi pidana atau tidak diberi sanksi pidana.[7]
B. Pembahasan Rumusan Masalah
· Pelanggaran yang diselesaikan secara adat
Sengketa atau perselisihan adat Menurut Qanun no. 9 tahun 2008, meliputi:
1. perselisihan dalam rumah tangga;
2. sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
3. perselisihan antar warga;
4. khalwat meusum;
5. perselisihan tentang hak milik;
6. pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);
7. Perselisihan harta sehareukat,
8. pencurian ringan;
9. pencurian ternak peliharaan;
10. pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
11. persengketaan di laut;
12. persengketaan di pasar;
13. penganiayaan ringan;
14. pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);
15. pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
16. pencemaran lingkungan (skala ringan);
17. ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan
18. perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.
Sedangkan menurut perda no. 7 tahun 2000 pasal 19 menyebutkan sanksi yang diberikan juga sama dengan yang tersebut di dalam qanun di atas.
· Perangkat Peradilan Adat
Dalam literatur sejarah Aceh dikenal istilah adat meulangga dalam perkara semacam ini keuchik bertindak seakan-akan menjadi wakil kedua belah pihak, namun pada hakikatnya bertindak selaku hakim sengketa. Alasan untuk memberlakukan adat melangga itu pada umumnya suatu luka atau hinaan yang nyata.[8]
Penyelesaian perkara tindak pidana ringan dengan perdamaian telah lama dilakukan di Aceh tapi istilah peradilan adat sekarang ini pertama kali dipopulerkan oleh Majelis Adat Aceh (MAA) dan kini telah dibakukan menjadi istilah resmi dalam Qanun Aceh. berikutnya peradilan adat tersebut termasuk menjadi program kerja MAA.[9]
Penyelesaian perkara didalam peradilan adat di Gampong dilaksanakan perangkat gampong adapun susunan perangkat tim peradilan secara adat di Gampong adalah oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas:
1. Keuchik
2. imeum meunasah;
3. tuha peut;
4. sekretaris gampong;
5. ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya yang relevan
6. imeum mukim;
7. imeum chik,
8. tuha peut;
9. sekretaris mukim;
10. ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya yang relevan
Pada umumnya penyelenggaraan Peradilan Perdamaian Adat dilakukan oleh Lembaga yang disebut Gampong dan Mukim. Hal yang sama berlaku untuk seluruh Aceh. Hanya saja, di beberapa daerah tertentu, seperti Aceh Tengah dan Aceh Tamiang, mereka menggunakan istilah lain. Namun, fungsinya tetap yang sama, yaitu sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau perkara adat.
· Struktur Peradilan Adat Gampong
Peradilan adat di Gampong mempunyai susunan/struktur sebagai berikut: Keuchik, sebagai Ketua Sidang; Sekretaris Gampong, sebagai Panitera, UIee Jurong sebagai Penerima Laporan awal, Tuha Peuet sebagai Anggota;, lmum Meunasah sebagai Anggota, Ulama, Cendekiawan, tokoh adat sebagai anggota.
Peradilan adat Gampong dapat menangani semua kasus adat yang diadukan kepadanya sesuai dengan Qanun Aceh, jika ada kasus yang di luar wewenangnya, Gampong berhak menolak menangani kasus tersebut, seperti:
1. Kasus yang terjadi antar Gampong yang berada dalam juridiksi Mukim
2. Kasus banding yaitu kasus yang telah ditangani ditingkat Gampong, namun salah satu pihak merasa tidak puas terhadap putusan tersebut. Khusus menyangkut dengan kasus yang sudah pernah disidangkan di tingkat Gampong dan diteruskan ke tingkat Mukim[10]
·Tempat Peradilan Adat
Qanun Aceh No. 9 Tahun 2003, Pasal 15 mengatur bahwa, sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat Gampong atau nama lain dan di Mesjid pada tingkat Mukim atau tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik atau nama lain dan lmeum Mukim atau nama lain.
Keuchik sebagai pimpinan sidang dalam pelaksanaan persidangan adat Gampong, dibantu oleh Perangkat Gampong sebagai anggota sidang secara aktif. Persidangan biasanya sampai ditemukan simpulan pokok-pokok sengketa dan sekaligus dapat menerapkan norma-norma hukum yang diperlukan sebagai landasan putusan yang dapat diterima secara damai oleh kedua belah pihak. Putusan persidangan umumkan dan dieksekusi melalui upacara adat di depan umum di meunasah.[11]
Penggunaan meunasah sebagai tempat perdamaian adat tidak terlepas dari sejarah panjang meunasah itu sendiri, secara umum Meunasah, ada yang rnenyebutnya meulasah, beunasah, beulasah, berasal dari kata madrasah dalam bahasa Arab, yaitu suatu lembaga-lembaga pendidikan, meunasah itu digunakan sebagai tempat menginap bagi kaum pria yang sudah akil baligh di Gampong itu, serta pula bagi pria dewasa yang singgah dalam Gampong itu namun tidak punya isteri di Gampong itu.[12]
Pada waktu agama Islam sudah mantap kedudukannya di Aceh, tempat menginap kaum pria dipergunakan pula sebagai tempat beribadah (Meunasah) untuk warga gampong, seperti juga terdapat di tanah jawa dengan sebutan Langgar, Bale atau Tajug[13]
Menurut Taufik, Abdullah meunasah dalam arti terminologis adalah tempat berbagai aktivitas, baik yang berhubungan dengan masalah dunia (adat), maupun yang berhubungan dengan masalah agama, yang dikepalai teungku meunasah. Pada pengertian lain, meunasah merupakan tempat penggemblengan masyarakat Gampong atau Desa, agar masyarakat Gampong tersebut menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT[14]
· Lingkup Tanggung Jawab Pemimpin Adat
Tangung jawab utama dari pemimpin adat dalam proses peradilan adat meliputi :
1. Melaksanakan proses peradilan Adat: Para pemangku adat bertanggung jawab terhadap setiap tahapan peradilan adat, mulai dari menerima laporan, memeriksa duduk persoalan sampai pada tahap rapat persiapan sidang akhir dan sampai dengan pemberian putusan peradilan adat.[15]
2. Memutuskan dengan adil: Para pemangku adat harus rnemastikan bahwa setiap keputusan-keputusan yang diambil dari sebuah proses paradilan adat sedapat mungkin memenuhi rasa keadilan para pihak yang bersengketa, dimana keputusan yeng diambil berdasarkan hasil proses pernbuktian dan musawarah, bukan berdasarkan kepentingan salah satu pihak yang bersengketa.[16] Terlibat di dalam penyelesaian perkara adalah sebuah tanggung jawab yang besar. Para anggota masyarakat menaruh kepercayaan kepada para pemimpin adat untuk menyelesaikan pertikaian secara adil dan damai.
3. Melindungi hak-hak para pihak yang bersengketa. Para pemangku adat bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak para pihak yang bersengketa mulai dari proses menerima laporan, memeriksa duduk persoalan, proses persidangan sampai pada tahap pelaksanaan putusan-putusan di persidangan.[17] Termasuk dalam pelaksanaan putusan seperti ganti rugi/denda, Seperti ungkapan, “Luka ta sipat, darah ta sukat”, (besarnya luka dan banyaknya darah harus diukur. Artinya dalam menetapkan hukum, harus sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan.[18]
4. Mencatat Proses dan Keputusan Peradilan. Setiap proses dan keputusan-keputusan yang telah diambil harus dicatat secara akurat dalarn dokumen administrasi peradilan adat.[19]
5. Mengarsipkan berkas perkara. Berkas perkara termasuk surat pejanjian yang berisi keputusan-keputusan adat harus disimpan atau diarsipkan secara aman oleh pemangku adat, hal ini penting dilakukan untuk menjamin dan rnempelancar proses peradilan bagi kasus-kasus lain serta kasus yang sama terulang kembali, sehingga pemangku adat mempunyai referensi dalam melakukan proses peradilan dan mengambil keputusan-keputusan sengketa adat.[20]
· Pelaksanaan Penyelesaian Putusan Peradilan Adat di Aceh
1. Proses Penyelesaian Perkara
1. perselisihan dalam rumah tangga;
2. sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
3. perselisihan antar warga;
4. khalwat meusum;
5. perselisihan tentang hak milik;
6. pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);
7. Perselisihan harta sehareukat,
8. pencurian ringan;
9. pencurian ternak peliharaan;
10. pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
11. persengketaan di laut;
12. persengketaan di pasar;
13. penganiayaan ringan;
14. pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);
15. pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
16. pencemaran lingkungan (skala ringan);
17. ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman); dan
18. perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.
Sedangkan menurut perda no. 7 tahun 2000 pasal 19 menyebutkan sanksi yang diberikan juga sama dengan yang tersebut di dalam qanun di atas.
· Perangkat Peradilan Adat
Dalam literatur sejarah Aceh dikenal istilah adat meulangga dalam perkara semacam ini keuchik bertindak seakan-akan menjadi wakil kedua belah pihak, namun pada hakikatnya bertindak selaku hakim sengketa. Alasan untuk memberlakukan adat melangga itu pada umumnya suatu luka atau hinaan yang nyata.[8]
Penyelesaian perkara tindak pidana ringan dengan perdamaian telah lama dilakukan di Aceh tapi istilah peradilan adat sekarang ini pertama kali dipopulerkan oleh Majelis Adat Aceh (MAA) dan kini telah dibakukan menjadi istilah resmi dalam Qanun Aceh. berikutnya peradilan adat tersebut termasuk menjadi program kerja MAA.[9]
Penyelesaian perkara didalam peradilan adat di Gampong dilaksanakan perangkat gampong adapun susunan perangkat tim peradilan secara adat di Gampong adalah oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas:
1. Keuchik
2. imeum meunasah;
3. tuha peut;
4. sekretaris gampong;
5. ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya yang relevan
6. imeum mukim;
7. imeum chik,
8. tuha peut;
9. sekretaris mukim;
10. ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya yang relevan
Pada umumnya penyelenggaraan Peradilan Perdamaian Adat dilakukan oleh Lembaga yang disebut Gampong dan Mukim. Hal yang sama berlaku untuk seluruh Aceh. Hanya saja, di beberapa daerah tertentu, seperti Aceh Tengah dan Aceh Tamiang, mereka menggunakan istilah lain. Namun, fungsinya tetap yang sama, yaitu sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau perkara adat.
· Struktur Peradilan Adat Gampong
Peradilan adat di Gampong mempunyai susunan/struktur sebagai berikut: Keuchik, sebagai Ketua Sidang; Sekretaris Gampong, sebagai Panitera, UIee Jurong sebagai Penerima Laporan awal, Tuha Peuet sebagai Anggota;, lmum Meunasah sebagai Anggota, Ulama, Cendekiawan, tokoh adat sebagai anggota.
Peradilan adat Gampong dapat menangani semua kasus adat yang diadukan kepadanya sesuai dengan Qanun Aceh, jika ada kasus yang di luar wewenangnya, Gampong berhak menolak menangani kasus tersebut, seperti:
1. Kasus yang terjadi antar Gampong yang berada dalam juridiksi Mukim
2. Kasus banding yaitu kasus yang telah ditangani ditingkat Gampong, namun salah satu pihak merasa tidak puas terhadap putusan tersebut. Khusus menyangkut dengan kasus yang sudah pernah disidangkan di tingkat Gampong dan diteruskan ke tingkat Mukim[10]
·Tempat Peradilan Adat
Qanun Aceh No. 9 Tahun 2003, Pasal 15 mengatur bahwa, sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat Gampong atau nama lain dan di Mesjid pada tingkat Mukim atau tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik atau nama lain dan lmeum Mukim atau nama lain.
Keuchik sebagai pimpinan sidang dalam pelaksanaan persidangan adat Gampong, dibantu oleh Perangkat Gampong sebagai anggota sidang secara aktif. Persidangan biasanya sampai ditemukan simpulan pokok-pokok sengketa dan sekaligus dapat menerapkan norma-norma hukum yang diperlukan sebagai landasan putusan yang dapat diterima secara damai oleh kedua belah pihak. Putusan persidangan umumkan dan dieksekusi melalui upacara adat di depan umum di meunasah.[11]
Penggunaan meunasah sebagai tempat perdamaian adat tidak terlepas dari sejarah panjang meunasah itu sendiri, secara umum Meunasah, ada yang rnenyebutnya meulasah, beunasah, beulasah, berasal dari kata madrasah dalam bahasa Arab, yaitu suatu lembaga-lembaga pendidikan, meunasah itu digunakan sebagai tempat menginap bagi kaum pria yang sudah akil baligh di Gampong itu, serta pula bagi pria dewasa yang singgah dalam Gampong itu namun tidak punya isteri di Gampong itu.[12]
Pada waktu agama Islam sudah mantap kedudukannya di Aceh, tempat menginap kaum pria dipergunakan pula sebagai tempat beribadah (Meunasah) untuk warga gampong, seperti juga terdapat di tanah jawa dengan sebutan Langgar, Bale atau Tajug[13]
Menurut Taufik, Abdullah meunasah dalam arti terminologis adalah tempat berbagai aktivitas, baik yang berhubungan dengan masalah dunia (adat), maupun yang berhubungan dengan masalah agama, yang dikepalai teungku meunasah. Pada pengertian lain, meunasah merupakan tempat penggemblengan masyarakat Gampong atau Desa, agar masyarakat Gampong tersebut menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT[14]
· Lingkup Tanggung Jawab Pemimpin Adat
Tangung jawab utama dari pemimpin adat dalam proses peradilan adat meliputi :
1. Melaksanakan proses peradilan Adat: Para pemangku adat bertanggung jawab terhadap setiap tahapan peradilan adat, mulai dari menerima laporan, memeriksa duduk persoalan sampai pada tahap rapat persiapan sidang akhir dan sampai dengan pemberian putusan peradilan adat.[15]
2. Memutuskan dengan adil: Para pemangku adat harus rnemastikan bahwa setiap keputusan-keputusan yang diambil dari sebuah proses paradilan adat sedapat mungkin memenuhi rasa keadilan para pihak yang bersengketa, dimana keputusan yeng diambil berdasarkan hasil proses pernbuktian dan musawarah, bukan berdasarkan kepentingan salah satu pihak yang bersengketa.[16] Terlibat di dalam penyelesaian perkara adalah sebuah tanggung jawab yang besar. Para anggota masyarakat menaruh kepercayaan kepada para pemimpin adat untuk menyelesaikan pertikaian secara adil dan damai.
3. Melindungi hak-hak para pihak yang bersengketa. Para pemangku adat bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak para pihak yang bersengketa mulai dari proses menerima laporan, memeriksa duduk persoalan, proses persidangan sampai pada tahap pelaksanaan putusan-putusan di persidangan.[17] Termasuk dalam pelaksanaan putusan seperti ganti rugi/denda, Seperti ungkapan, “Luka ta sipat, darah ta sukat”, (besarnya luka dan banyaknya darah harus diukur. Artinya dalam menetapkan hukum, harus sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan.[18]
4. Mencatat Proses dan Keputusan Peradilan. Setiap proses dan keputusan-keputusan yang telah diambil harus dicatat secara akurat dalarn dokumen administrasi peradilan adat.[19]
5. Mengarsipkan berkas perkara. Berkas perkara termasuk surat pejanjian yang berisi keputusan-keputusan adat harus disimpan atau diarsipkan secara aman oleh pemangku adat, hal ini penting dilakukan untuk menjamin dan rnempelancar proses peradilan bagi kasus-kasus lain serta kasus yang sama terulang kembali, sehingga pemangku adat mempunyai referensi dalam melakukan proses peradilan dan mengambil keputusan-keputusan sengketa adat.[20]
· Pelaksanaan Penyelesaian Putusan Peradilan Adat di Aceh
1. Proses Penyelesaian Perkara
Dalam proses penyelesaian perkara
termasuk perkara adat, administrasi sangat penting untuk menjamin terlaksananya
peradilan adat yang kredibel dan sistematis. secara teoritis Administrasi itu
sendiri adalah usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta
penetapan cara-cara penyelenggaraan pembinaan organisasi walaupun ketentuan dan
bentuk administrasi itu berbeda persoalannya, tetapi ada hal yang sama yaitu
prosesnya.
Khusus terhadap peradilan adat dalam perkara tindak pidana ringan seperti penganiayaan, pencurian, penggelapan dan penipuan tahapan penyelesaian perkaranya adalah sebagai berikut:
a. Pelaporan yang dilakukan oleh pihak korban atau kedua belah pihak kepada Kepala Dusun (Kadus) atau kepala lorong atau Petua Jureung tempat dimana peristiwa hukum tersebut terjadi (asas teritorialitas). Namun tidak tertutup kemungkinan laporan tersebut dapat juga langsung ditujukan kepada Keuchik
b. Adakalanya Kepala Dusun atau Peutuwa Jurong itu sendiri yang menyelesaikannya, jika kasusnya tidak serius. Namun jika kasus tersebut sangat serius dan rumit serta melibatkan kepentingan umum, maka Kepala Dusun (Kadus) segera melapor kepada Keuchik.
c. Segera setelah Keuchik menerima laporan dari Kadus atau dari pihak korban, maka Keuchik membuat rapat internal dengan Sekretaris menentukan jadwal sidang, Pelaporan tersebut tidak boleh dilakukan di sembarang tempat seperti pasar dan warung kopi, tetapi harus di rumah atau di Meunasah;
d. Sebelum persidangan digelar, Keuchik dan perangkatnya (Sekretaris Keuchik atau Sekretaris Gampong, lmeum Meunasah dan Para Kadus atau Peutuwa Jurong) melakukan pendekatan terhadap kedua belah pihak. Pendekatan tersebut bertujuan untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan sekaligus menanyakan kesediaan mereka untuk diselesaikan secara damai. Pada Saat pendekatan tersebut, para pelaksanan peradilan adat akan rnenggunakan berbagai metode mediasi dan negosiasi, sehingga kasus itu dapat segera diselesaikan
e. Pendekatan tidak hanya dilakukan oleh keuchik dan perangkatnya, tetapi dapat juga dilakukan oleh siapa saja yang dirasa dekat dan disegani oleh para pihak. Untuk kasus yang sensitif yang korbannya kaum perempuan atau kaum muda, maka pendekatan biasanya dilakukan oleh istri Keuchik atau oleh anggota Tuha Peuet yang perempuan atau tokoh perempuan lainnya yang dirasa dekat dengan korban atau kedua belah pihak.
f. Jika kesepakatan penyelesaian secara damai telah disetujui oleh kedua belah pihak, maka Sekretaris Keuchik akan rnengundang secara resmi kedua belah pihak untuk menghadiri persidangan pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan;
g. Pada saat persidangan berlangsung, para pihak dapat diwakili oleh walinya atau saudaranya yang lain sebagai juru bicara;
h. Persidangan bersifat resmi dan terbuka untuk kasus besar, yang biasanya digetar di Meunasah atau tempat-tempat lain yang dianggap netral bagi kedua belah pihak.
i. Forum persidangan terutama posisi/tata letak duduk para pihak dan para pelaksana peradilan adat disusun sedemikian rupa sehingga kelihatannya forrnil secara adat;Penetapan tempat duduk adalah sebagai berikut:
1) Keuchik, selaku Ketua Sidang, duduk dalam satu deretan dengan Tuha Peuet, lmeum, Meunasah, Cendikiawan, Ulama dan Tokoh adat gampong lainnya.
2) Di sebelah kiri Keuchik, agak sedikit belakang, duduk Sekretaris Keuchik (sebagai Panitera).
3) Deretan depan atau di hadapan Keuchik merupakan tempat untuk para pihak atau yang mewakilinya.
4) Sementara itu, para saksi mengambil tempat disayap kiri dan kanan forum persidangan.
5) Di belakang para pihak, duduk sejumlah peserta atau pengunjung sidang yang terdiri dari masyarakat Gampong dan keluarga serta sanak saudara dari para pihak;
j. Persidangan berlangsung dengan penuh khitmad dan Keuchik mempersilahkan para pihak atau yang mewakilinya untuk menyampaikan persoalannya yang kemudian dicatat oleh Panitera (Sekretaris Gampong).
k. Keuchik mempersilahkan pl. Keuchik memberikan kesempatan kepada Tuha Peuet atau Tuha Lapan menanggapi sekaligus menyampaikan alternative penyelesaiannya.
l. Keuchik mempersilahkan para ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya untuk menanggapi dan menyam.Deikan Saian Keiuar terhadap kasus tersebut.
m. Keuchik beserta seluruh anggota sidang memusyawarahkan putusan damai apa yang akan diberikan. Jika mereka telah sepakat tentang jenis putusan damai yang akan diiatuhkan, maka Keuchik menanyakan kembali kepada para pihak apakah mereka siap menerirna putusan damai tersebut.
n. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak setuju terhadap putusan perdamaian, maka para pihak dapat mengajukan ke forum persidangan Mukim. Ketidaksetujuan para pihak terhadap putusan peradilan adat Gampong juga harus dinyatakan dalam surat penetapan putusan dan berdasarkan surat penetapan tersebut kasus itu dapat diajukan ke persidangan Mukim.
o. Keuchik membaca putusan perdamaian dan meminta kepada para pihak untuk menandatangani akta perdamaian serta melaksanakan isi putusan itu dengan sungguh-sungguh.
p. Putusan tersebut dan salinannya diberikan kepada para pihak, disimpan sebagai arsip baik di kantor Keuchik maupun di kantor Mukim.
q. Setelah putusan disepakati dan diterima oleh para pihak, maka pada pertemuan berikutnya putusan tersebut akan dieksekusi melalui suatu upacara perdamaian.
r. Pelaksanaan (eksekusi) itu dilakukan melalui upacara perdamaian dengan membebankan segala sesuatunya kepada para pihak, atau pada satu pihak tergantung keputusan (ada hubungan dengan tingkat kesalahan).
s. Apabila semua pihak sudah merasa puas, dengan rumusan penetapan putusan, maka barulah pada hari yang ditetapkan dilakukan eksekusi melalui suatu upacara perdamaian di Meunasah di hadapan umum. Terhadap perkara-perkara yang telah diputuskan dan telah diterima, ara saksi untuk menyampaikan kesaksiannya.
Khusus terhadap peradilan adat dalam perkara tindak pidana ringan seperti penganiayaan, pencurian, penggelapan dan penipuan tahapan penyelesaian perkaranya adalah sebagai berikut:
a. Pelaporan yang dilakukan oleh pihak korban atau kedua belah pihak kepada Kepala Dusun (Kadus) atau kepala lorong atau Petua Jureung tempat dimana peristiwa hukum tersebut terjadi (asas teritorialitas). Namun tidak tertutup kemungkinan laporan tersebut dapat juga langsung ditujukan kepada Keuchik
b. Adakalanya Kepala Dusun atau Peutuwa Jurong itu sendiri yang menyelesaikannya, jika kasusnya tidak serius. Namun jika kasus tersebut sangat serius dan rumit serta melibatkan kepentingan umum, maka Kepala Dusun (Kadus) segera melapor kepada Keuchik.
c. Segera setelah Keuchik menerima laporan dari Kadus atau dari pihak korban, maka Keuchik membuat rapat internal dengan Sekretaris menentukan jadwal sidang, Pelaporan tersebut tidak boleh dilakukan di sembarang tempat seperti pasar dan warung kopi, tetapi harus di rumah atau di Meunasah;
d. Sebelum persidangan digelar, Keuchik dan perangkatnya (Sekretaris Keuchik atau Sekretaris Gampong, lmeum Meunasah dan Para Kadus atau Peutuwa Jurong) melakukan pendekatan terhadap kedua belah pihak. Pendekatan tersebut bertujuan untuk mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan sekaligus menanyakan kesediaan mereka untuk diselesaikan secara damai. Pada Saat pendekatan tersebut, para pelaksanan peradilan adat akan rnenggunakan berbagai metode mediasi dan negosiasi, sehingga kasus itu dapat segera diselesaikan
e. Pendekatan tidak hanya dilakukan oleh keuchik dan perangkatnya, tetapi dapat juga dilakukan oleh siapa saja yang dirasa dekat dan disegani oleh para pihak. Untuk kasus yang sensitif yang korbannya kaum perempuan atau kaum muda, maka pendekatan biasanya dilakukan oleh istri Keuchik atau oleh anggota Tuha Peuet yang perempuan atau tokoh perempuan lainnya yang dirasa dekat dengan korban atau kedua belah pihak.
f. Jika kesepakatan penyelesaian secara damai telah disetujui oleh kedua belah pihak, maka Sekretaris Keuchik akan rnengundang secara resmi kedua belah pihak untuk menghadiri persidangan pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan;
g. Pada saat persidangan berlangsung, para pihak dapat diwakili oleh walinya atau saudaranya yang lain sebagai juru bicara;
h. Persidangan bersifat resmi dan terbuka untuk kasus besar, yang biasanya digetar di Meunasah atau tempat-tempat lain yang dianggap netral bagi kedua belah pihak.
i. Forum persidangan terutama posisi/tata letak duduk para pihak dan para pelaksana peradilan adat disusun sedemikian rupa sehingga kelihatannya forrnil secara adat;Penetapan tempat duduk adalah sebagai berikut:
1) Keuchik, selaku Ketua Sidang, duduk dalam satu deretan dengan Tuha Peuet, lmeum, Meunasah, Cendikiawan, Ulama dan Tokoh adat gampong lainnya.
2) Di sebelah kiri Keuchik, agak sedikit belakang, duduk Sekretaris Keuchik (sebagai Panitera).
3) Deretan depan atau di hadapan Keuchik merupakan tempat untuk para pihak atau yang mewakilinya.
4) Sementara itu, para saksi mengambil tempat disayap kiri dan kanan forum persidangan.
5) Di belakang para pihak, duduk sejumlah peserta atau pengunjung sidang yang terdiri dari masyarakat Gampong dan keluarga serta sanak saudara dari para pihak;
j. Persidangan berlangsung dengan penuh khitmad dan Keuchik mempersilahkan para pihak atau yang mewakilinya untuk menyampaikan persoalannya yang kemudian dicatat oleh Panitera (Sekretaris Gampong).
k. Keuchik mempersilahkan pl. Keuchik memberikan kesempatan kepada Tuha Peuet atau Tuha Lapan menanggapi sekaligus menyampaikan alternative penyelesaiannya.
l. Keuchik mempersilahkan para ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya untuk menanggapi dan menyam.Deikan Saian Keiuar terhadap kasus tersebut.
m. Keuchik beserta seluruh anggota sidang memusyawarahkan putusan damai apa yang akan diberikan. Jika mereka telah sepakat tentang jenis putusan damai yang akan diiatuhkan, maka Keuchik menanyakan kembali kepada para pihak apakah mereka siap menerirna putusan damai tersebut.
n. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak setuju terhadap putusan perdamaian, maka para pihak dapat mengajukan ke forum persidangan Mukim. Ketidaksetujuan para pihak terhadap putusan peradilan adat Gampong juga harus dinyatakan dalam surat penetapan putusan dan berdasarkan surat penetapan tersebut kasus itu dapat diajukan ke persidangan Mukim.
o. Keuchik membaca putusan perdamaian dan meminta kepada para pihak untuk menandatangani akta perdamaian serta melaksanakan isi putusan itu dengan sungguh-sungguh.
p. Putusan tersebut dan salinannya diberikan kepada para pihak, disimpan sebagai arsip baik di kantor Keuchik maupun di kantor Mukim.
q. Setelah putusan disepakati dan diterima oleh para pihak, maka pada pertemuan berikutnya putusan tersebut akan dieksekusi melalui suatu upacara perdamaian.
r. Pelaksanaan (eksekusi) itu dilakukan melalui upacara perdamaian dengan membebankan segala sesuatunya kepada para pihak, atau pada satu pihak tergantung keputusan (ada hubungan dengan tingkat kesalahan).
s. Apabila semua pihak sudah merasa puas, dengan rumusan penetapan putusan, maka barulah pada hari yang ditetapkan dilakukan eksekusi melalui suatu upacara perdamaian di Meunasah di hadapan umum. Terhadap perkara-perkara yang telah diputuskan dan telah diterima, ara saksi untuk menyampaikan kesaksiannya.
maka pelaksanaan
eksekusi dilakukan di Meunasah di depan
umum, atau di tempat lain di rumah atau
Mesjid (atas persetujuan
bersama). Keterampilan dalam bermusyawarah, mendengarkan
dengan hati-hati,
berbicara dengan jelas dan memastikan
komunikasi secara efektif di antara semua
pihak sangat penting
dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam peradilan
adat.
Pelaksanaan sanksi adat segera dilakukan setelah putusan
disampaikan oleh Keuchik. Sedangkan jenis sanksi yang diberikan
kepada pelanggar hukum adat dalam Pasal 16 Qanun no. 9 tahun
2008 tentang Jenis-jenis Sanksi Adat antara lain:
2. teguran;
3. pernyataan maaf;
4. sayam; (semacam peusijuek)
5. diyat;
6. denda;
7. ganti kerugian;
8. dikucilkan oleh masyarakat gampong;
9. dikeluarkan dari masyarakat gampong;
10. pencabutan gelar adat; dan bentuk sanksi lainnya sesuai dengan adat setempat
Sedangkan
menurut perda no. 7 tahun 2000 pasal 19 menyebutkan sanksi yang diberikan juga
sama dengan yang tersebut di dalam qanun di atas.
Sanksi
adat yang berupa pengusiran dari Gampong, maka pelaksanaannya tidak dilakukan
segera setelah putusan tersebut dibacakan, tetapi kepada pelanggar norma adat
itu masih diberikan waktu secukupnya untuk bersiap-siap meninggalkan gampong
halamannya, kadang-kadang sanksi itu berlaku selama yang dihukum belum insaf
dan mengakui kesalahannya. Kalau ia sudah mau mengakui kesalahannya maka ia
boleh kembali lagi ke Gampong tersebut. Dengan turut membayar denda sebagai
sanksi adat.
Jenis-jenis sanksi yang di atur di dalam Qanun Aceh yang dapat
dijatuhkan dalam penyelesaian sengketa adat adalah nasehat,
teguran, pernyataan maaf, sayam, diyat, denda, ganti kerugian, dikucilkan oleh
masyarakat gampong atau nama lain, dikeluarkan dari masyarakat gampong atau
nama lain, pencabutan gelar adat, dan bentuk sanksi lainnva sesuai dengan adat
setempat.
Untuk memastikan sanksi tersebut
berjalan sesuai dengan keputusan peradilan adat, maka diharuskan kepada
keluarga pelanggar adat ikut bertanggung
jawab atas terlaksananya sanksi adat yang dijatuhkan kepada anggota
keluarganya.[22] Walau demikian,
selama ini hukuman denda, ganti rugi, harus mengaku salah dan minta maaf
merupakan hukuman yang kelihatannya dikenal luas.
Dalam membangun penyelesaian damai, biasanya mekanismenya “damai
adat” ditempuh melalui dua jalan: pertama prosesi penyelesaian nilai-nilai
normatif (hukum adat), melalui forum “Adat Meusapat”, musyawarah para
tokoh adat lembaga terkait dan pihak-pihak bersangkutan dalam hubungan
penyelesaian sengketa/pelanggaran.
Kedua prosesi penyelesaian formal melalui seremonial adat (publik)
di depan umum, dengan inti acara khanduri, peusijuek, bermaafan dan
salaman, sayam (penyerahan kompensasi), nasehat dan do’a. Dewasa ini ada
keinginan kuat dari para penyelenggara peradilan adat bahwa sebaiknya penetapan
putusan adat dibuat secara tertulis, karena dengan bentuk tertulis akan
menambah bobot putusan itu sendiri.
Di samping itu, pemantauan
terhadap putusan tersebut akan lebih mudah diawasi. Diharapkan juga agar
salinan putusan tersebut disampaikan kepada yang bersangkutan (para pihak),
Lembaga Mukim, dan pihak Kepolisian. Hal ini, bertujuan agar supaya mereka
mengetahui kalau suatu perkara telah diselesaikan di tingkat peradilan Gampong
dan mereka tidak perlu memeriksa kembali, kecuali dalam kasus-kasus tertentu
yang memang bukan merupakan kewenangan Gampong.
· Metode penyelesaian perkara
Terdapat beberapa metode dan pola
penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam penyelesaian setiap perkara yang
terjadi di dalam masyarakat adat, antara lain yaitu[23]
1.Penyelesaian secara personal,
yaitu penyelesaian yang dilaksanakan secara pribadi oleh tokoh masyarakat
berdasarkan kepercayaan para pihak tanpa melibatkan komponen lain.
2.Penyelesaian melalui pihak keluarga,
yaitu penyelesaian yang dilakukan dengan pendekatan pihak keluarga dari
pihak yang bersengketa yang biasanya mempunyai hubungan yang masih dekat.
3.Duek ureung tuha, yaitu
musyawarah terbatas para tokoh masyarakat untuk menyelesaikan sengketa
berdasarkan laporan para pihak.
4.Penyelesaian melalui Lembaga
Adat Keujreun Blang, yaitu penyelesaian yang dilaksanakan oleh keujreun
terhadap berbagai sengketa, baik berdasarkan laporan dari para pihak atau
tidak.
5.Penyelesaian melalui Peradilan
Gampong, yaitu peradilan adat yang diikuti oleh perangkat gampong untuk
penyelesaian sengketa yang
dilaksanakan di meunasah atau mesjid.
6.Penyelesaian melalui Peradilan
Mukim, yaitu peradilan adat yang diikuti oleh perangkat mukim untuk
menyelesaikan sengketa yang diajukan oleh para pihak karena tidak puas
terhadap putusan peradilan gampong.
C. ANALISIS
Qanun Aceh Tahun 2008 tentang
lembaga adat, menegaskan bahwa lembaga adat yang berkembang dalam kehidupan
masyarakat Aceh sejak dahulu hingga sekarang
mempunyai peranan penting dalam membina nilai-nilai budaya, norma-norma adat
dan aturan untuk mewujudkan keamanan, ketertiban, ketentraman, kerukunan dan
kesejahteraan bagi masyarakat Aceh sesuai dengan nilai Islami.
Alangkah baiknya ketika suatu masalah yang ada di suatu Gampong, pihak lembaga adat memberikan laporan kepada pihak yang berwenang, sehingga hukum yang diberlakukan di aceh, berjalan semestinya tidak tumpang tindih sehingga tidak terkesan hukum adat yang ada di Aceh hanya kepentingan sepihak.
Dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008
tentang Pembinaan Kehidupan dan Adat Istiadat telah diatur secara tegas dalam
bab tersendiri mengenai penyelesaian sengketa dan mekanismenya. Pasal 13 ayat
(1), ditegaskan bahwa jenis sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat
meliputi:
perselisihan dalam rumah tangga;
sengketa antara keluarga yang berkaitan
dengan faraidh;
perselisihan antar warga;
khalwat meusum;
perselisihan tentang hak milik;
pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);
perselisihan harta sehareukat;
pencurian ringan;
pencurian ternak peliharaan;
pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan;
persengketaan di laut;
persengketaan di pasar;
penganiayaan ringan;
pembakaran hutan (dalam skala kecil yang
merugikan komunitas adat);
pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik;
pencemaran lingkungan (skala ringan);
ancam
mengancam (tergantung dari jenis
ancaman); dan
perselisihan-perselisihan lain yang
melanggar adat dan adat istiadat.
Khusus di Aceh, bahwa telah mnemnbuktikan
hukumn adat sampai sekarang masih sangat dipertahankan dengan lahirnya
Keputusan Bersama antara Gubernur Aceh, Kepala Kepolisian Daerah Aceh dan Ketua
Majlis Adat Aceh, No. 1054/MAA/XII/2011 tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat
Gampong dan Mukim atau nama lain di Aceh. Sebagaimana disebutkan pada bagian
ke-satu, ke-dua, dan ke-tiga yang mengatakan bahwa:
Bagian Pertama : Sengketa/perselisihan yang terjadi ditingkat Gampong dan Mukim yang bersitat ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau Nama Lain di Aceh;
Bagian Kedua : Aparat Kepolisian memberikan kesempatan agar setiap sengketa/perselisihan sebagai mana dimaksud dalam diktum kesatu untuk diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan Adat Gampongdan Mukim atau nama lain di Aceh;
Bagian Ketiga: Putusan peradilan Adat Gampong dan Mukimatau nama lain di Acch bersifat final dan mengikat serta tidak dapat diajukan lagi pada peradilan umum atau peradilan lainnya.
Penyelesaian perkara didalam peradilan adat di Gampong dilaksanakan perangkat gampong. Adapun susunan perangkat tim peradilan secara adat di Gampong adalah oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas:
1. Keuchik;
2. imeum meunasah
3. tuha peut;
4. sekretaris gampong;
5. ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya yang relevan
6. imeum mukim;
7. imeum chik
8. tuha peut
9. sekretaris mukim;
10. ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya yang relevan.
Bagian Pertama : Sengketa/perselisihan yang terjadi ditingkat Gampong dan Mukim yang bersitat ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat wajib diselesaikan terlebih dahulu melalui Peradilan Adat Gampong dan Mukim atau Nama Lain di Aceh;
Bagian Kedua : Aparat Kepolisian memberikan kesempatan agar setiap sengketa/perselisihan sebagai mana dimaksud dalam diktum kesatu untuk diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan Adat Gampongdan Mukim atau nama lain di Aceh;
Bagian Ketiga: Putusan peradilan Adat Gampong dan Mukimatau nama lain di Acch bersifat final dan mengikat serta tidak dapat diajukan lagi pada peradilan umum atau peradilan lainnya.
Penyelesaian perkara didalam peradilan adat di Gampong dilaksanakan perangkat gampong. Adapun susunan perangkat tim peradilan secara adat di Gampong adalah oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas:
1. Keuchik;
2. imeum meunasah
3. tuha peut;
4. sekretaris gampong;
5. ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya yang relevan
6. imeum mukim;
7. imeum chik
8. tuha peut
9. sekretaris mukim;
10. ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya yang relevan.
Saran
Dari beberapa kesimpulan yang telah
dipaparkan di atas, maka dalam beberapa penjelasan yang telah dipaparkan di
atas ada beberapa poin yang dapat penulis sarankan:
Karena sudah ada ketentuan yang menatur
tentang sejauh mana peran lembaga adat di Gamponng, maka sebaiknya bentuk
sanksi adat yang diberikan jangan memicu sengketa baru terhadap pandangan luar,
yang nantinya mengatakan bahwa hukum adat itu tidak adil.
Alangkah baiknya ketika suatu masalah yang ada di suatu Gampong, pihak lembaga adat memberikan laporan kepada pihak yang berwenang, sehingga hukum yang diberlakukan di aceh, berjalan semestinya tidak tumpang tindih sehingga tidak terkesan hukum adat yang ada di Aceh hanya kepentingan sepihak.
Dalam hal penyelesaian kasus pada
tataran adat sebenarnya ada baiknya, namun bukan berarti suatu penyelesaian
hanya di selesaikan pada tataran gampong setempat saja, tapi juga harus ada
laporan pada pihak yag berwajib karena dalam pemberian sanksi sesuai dengan
Qanun yang telah menngatur tentang penjatuhan sanksi hanya boleh dilakukan oleh
pihak yang berwajib.
[1] H. badruzzaman ismail. Bunga rampai hukum adat. Banda aceh. 2003.
Hlm. 1
[2] Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 tahun 1984 tentang
Pembinaan dan Pengembangan Adat istiadat di Tingkat Desa/Kelurahan
[3] Perda
no. 7 tahun 2000 pasal. 10 “Aparat penegak hukum memberi kesempatan terlebih
dahulu kepada geuchik dan imum mukim untuk menyelesaikan sengketa-sengketa atau
perselisihan di gampong atau mukim masing-masing.”
[4] Ahmadi Hasan, Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat
Badamai Pada Masyarakat Banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional,
Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Pasasarjana Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta, Tahun 2007.
[5] LAKA.. Pedoman Umum adat Aceh, (Banda Aceh: LAKA (Lembaga
Adat Kebudayaan Aceh), 1990), hlm. 163-164.
[6] Ibid. hlm.164
[7] radianto
Efendi, 2011. HUKUM PIDANA INDONESIA Suatu Pengantar. Yang
Menerbitkan PT Refika Aditama: Bandung.
[9] Hasil wawancara dengan Arsyad, Seketaris Lembaga Adat Kabupaten
Aceh Timur, Tanggal 03 Desember 2013.
[10] Lihat Qanun 5 tahun 2003 pasal 12 ayat (3) menegaskan bahwa,
Pihak-Pihak yang keberatan terhadap keputusan perdamaian di tingkat Gampong,
dapat meneruskannya kepada Imeum Mukim bersifat akhir dan mengikat.
[11] Hasil wawancara dengan Suyitno Keuchik Gampong Alue Nyamok., Aceh
Timur pada Tanggal 04 Desember 2013.
[13] Ibid.
[14] Taufik Abdullah,dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta:Ictiar
Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 221.
[15] Badruzzaman Ismail, dkk, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk
Peradilan adat yang Adil dan Akuntabel, hlm.12
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[19] Badruzzaman Ismail, dkk, Pedoman Peradilan Adat di Aceh Untuk
Peradilan adat yang Adil dan Akuntabel, hlm.13
[20] Ibid.
[21] Lihat Pasal 16 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang
Pembinaan Kehidupan Adat Dan Istiadat
[22] Lihat Pasal 16 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang
Pembinaan Kehidupan Adat Dan Istiadat.
[23] Dari hasil resume penelitian tentang Penerapan Alternative Dispute
Resolution Berbasis Hukum Adat pada Lembaga Adat Keujreun Blang di Kabupaten
Aceh Besar hasil kerjasama antara Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat (PKPM)
dan Satker BRR-Pengembangan Sarpras Hukum NAD-Nias, (www. Idlo.int)
Post a Comment for "Makalah Hukum Adat"
Berikan Saran beserta komentar.